Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Senin, 24 September 2007

Hikmah

Kalimat-kalimat Allah

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambah kepada keduanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [QS. Luqman (31) : 27]

Ayat di atas menunjukkan bahwa kalimat-kalimat Allah tidak terbatas pada kalimat-kalimat-Nya yang telah tersurat (kauliyah) berupa firman-firman, tapi juga kalimat-kalimat-Nya yang tersirat (kauniyah). Kalimat-kalimat yang tersirat (kauniyah) inilah yang sesungguhnya, jika ditilik dari ayat di atas, tidak terbatas.

Namun, kita lebih sering mengandalkan kalimat-kalimat-Nya yang tertulis (dalam Al-Qur’an). Kita terlena bahwa sebenarnya Allah telah membentangkan firman-firman dalam kejadian-kejadian alam dan peristiwa-peristiwa yang menimpa manusia. Karena, dari kejadian-kejadian alam dan peristiwa-peristiwa yang menimpa manusia itulah seseorang bisa mengambil hikmah-Nya dan ilmu-Nya. Kalimat-Nya yang berupa hikmah dan ilmu justru tidak terbatas, hanya saja manusia lebih sering membatasi kemampuannya untuk mereguk hikmah-Nya dan ilmu-Nya itu.

Peristiwa alam dan kejadian yang menimpa manusia, jika berdampak buruk, lebih suka dikatagorisasi sebagai ujian (jika menimpa orang yang bertakwa) atau laknat (jika menimpa orang yang lalai). Padahal, terlepas dari ketakwaan dan kelalaian itu, yang diperlukan adalah kemauan seseorang untuk mengambil hikmah-Nya dan ilmu-Nya atas peristiwa alam dan kejadian yang menimpa manusia itu. Dan untuk bisa mengambil hikmah-Nya dan ilmu-Nya itu, seseorang perlu memandang segala sesuatu, bahkan, tidak dari dua sisi (yakni baik dan buruk), tapi dari satu sisi, yakni bahwa segala yang datang dari Allah pasti menimbulkan kebaikan bagi hamba-Nya. Dalam hal ini, kejadian (yang dipandang) buruk menimpa seseorang bahkan menimbulkan kerugian fisik maupun psikologis, akan dimaknai dalam sisi positifnya, bukan sepenuh-penuhnya negatif. Dari sinilah seseorang diharapkan bisa me-resonansi-kan jiwanya untuk siap sedia menerima hikmah-Nya dan ilmu-Nya yang sengaja didekatkan pada dirinya itu.

Adalah Yusuf yang dilemparkan saudara-saudaranya sendiri ke dalam sumur. Tidak lama berselang, datang sekelompok kafilah yang mengeluarkannya dari dasar sumur. Oleh kafilah itu, beliau dijadikan budak yang dijual dengan harga tinggi. Kemudian, saat berada di Mesir, beliau menghadapi tuduhan keji yang menyeretnya masuk penjara. Setelah semua berlalu, beliau menjadi raja Mesir dan berjumpa kembali dengan ayahnya. Ayahnya bertanya, ”Apa yang telah diperbuat saudaramu terhadap dirimu?” Yusuf kemudian menjawab, ”Janganlah ayah menanyakan apa yang diperbuat saudara-saudaraku. Tanyakanlah mengenai kemurahan Allah serta bagaimana Dia menjaga dan melindungiku saat aku menghadapi persekongkolan, perbudakan, tuduhan keji dan penjeblosan ke dalam penjara.”

Teruslah mengingat bahwa segala sesuatu datang dari Allah. Itulah kalimat-kalimat-Nya yang tidak terbatas. Jangan sampai kita memaknai segala yang datang dari-Nya dalam kesimpulan-kesimpulan yang terlalu dangkal.

Jakarta, 30 Mei 2007