Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Selasa, 26 April 2011

Mencerna Situs Sejaring Sosial


Situs jejaring sosial adalah dunia sosial yang baru dimana kita baru mulai berupaya memahaminya.
W. Keith Campbell, Universitas Georgia


 Mengapa kita tidak bisa terus menerus memanipulasi identitas kita di situs jejaring sosial?

 Apa yang membuat orang lain tertarik dengan (profil Facebook) kita?

 Alih-alih mengganggu produktivitas, bagaimana agar bekerja bisa seperti bermain Facebook?

 Sebagai orang tua, cara pengasuhan seperti apa yang bisa mengurangi kemungkinan dampak negatif pada anak remaja karena menggunakan situs jejaring sosial?

 Apa benar, menggunakan situs jejaring sosial bisa menurunkan prestasi belajar?


Situs jejaring sosial merupakan fenomena baru yang menyertai kehidupan kita sehari-hari. Fenomena baru ini terus menggeliat, berada dalam pusaran arus utama kehidupan kita, bahkan menjadi kebutuhan hidup. Pada saat yang bersamaan, situs jejaring sosial telah menyedot waktu dan energi kita, terutama oleh dampak negatif yang ditimbulkannya, sementara kita masih baru berupaya untuk memahaminya.

Sebagai fenomena baru, kita perlu mencerna lebih dalam perihal situs jejaring sosial. Buku ini mengupas berbagai peristiwa, mungkin juga kisah, tentang pengguna situs jejaring sosial. Melalui berbagai hasil penelitian tentang situs jejaring sosial, kita jadi tahu bahwa penggunaan situs jejaring sosial berhubungan dengan hakekat manusia untuk saling terhubung. Situs jejaring sosial juga menyingkap berbagai makna yang membantu kita memahami diri sendiri dan orang lain—inilah esensi langgengnya suatu keterhubungan di antara sesama manusia.[]

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 03 Oktober 2010

Apa yang Dibincangkan: Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Situs Jejaring Sosial tentang Komunikasi Laki-laki dan Perempuan


"Eh lu, gak usah ikut campur gendut, kaya tante-tante, gak bisa gaya, norak lu...". Maaf, saya tidak sedang mengata-ngatai Anda. Kalimat ini saya kutip dari akun facebook milik Melati (bukan nama sebenarnya) yang ditulis di dinding facebook milik Mawar (juga bukan nama sebenarnya). Keduanya terlibat adu cemburu. Melati dan Mawar berselisih. Mawar mengadukan penghinaan yang dilakukan Melati pada dirinya ke pengadilan. Facebook jadi perantara yang memudahkan mereka berselisih yang juga berarti menjadi perantara mereka berurusan di pengadilan. Pihak yang lebih banyak menanggung akibat buruk dari urusan itu tentu Melati.

Pada selasa siang, 16 Februari 2010, Melati terlihat tenang di ruang Pengadilan Negeri Bogor. Dia sedang menunggu hakim membacakan vonis untuknya. Satu-satunya hakim yang memimpin sidang membacakan, "Melati bersalah melakukan tindak pidana memfitnah. Dan karena itu saya menjatuhkan vonis 2 bulan dan 15 hari penjara. Tapi hakim memerintahkan dia untuk tidak menjalaninya. Terkecuali terpidana terkena perkara lain dalam masa lima bulan, maka hakim akan memerintahkan dia untuk menjalani hukuman tersebut". Melati masih beruntung karena saat vonis dibacakan, dia masih belum cukup umur untuk menanggung derita di balik jeruji penjara. Apakah urusannya dengan pengadilan membuat Melati mengubah sikapnya terhadap Facebook? Ternyata tidak. Pada hari persidangan, saat ditanya tentang kebiasaannya menggunakan Facebook, Melati menjawab, "Biasa saja, tidak ada trauma. Sampai sekarang saya masih menggunakan Facebook". Perubahan sikapnya mungkin ini, ”ke depan saya tidak mau mengomentari Facebook orang lain”.

Saya mengajak Anda berbincang tentang Luna Maya. Tapi kali ini bukan tentang videonya yang menghebohkan itu. Jauh sebelum beredar video hebohnya, masyarakat, utamanya para ‘wartawan’ infotainment, dihebohkan oleh statusnya di sebuah situs jejaring sosial, Twitter. Pada Rabu dini hari, 16 Desember 2009, Luna menulis, “Infotainment derajatnya lebh HINA dr pd PELACUR,PEMBUNUH!!!!may ur soul burn in hell!!” Setelah dikasak-kusuk, Luna menulis status tersebut karena kejengkelannya akibat suatu peristiwa pada malam harinya. Pada Selasa malam, saat dia menonton film di sebuah bioskop di Jakarta, kamera ‘wartawan’ menyenggol seorang anak kekasihnya yang sedang dalam gendongannya. Kalau kamera ‘wartawan’ bisa bersenggolan dengan narasumber berita, soal apalagi kalau bukan urusan mengasak-ngusuk berita. Seorang ‘wartawan’ infotainment yang waktu itu sedang berada di lokasi kejadian membela diri, “Sebenarnya yang menyenggol itu bukan kameramen, tapi yang mendekati kamera adalah Luna sendiri. Kita juga tidak mengerumuni dia seperti lalat, kita sebelumnya juga sudah bertanya baik-baik pada dia untuk meminta wawancara.” Setelah statusnya yang bernada menghina itu ditulis, tanggapan datang dari berbagai penjuru. Luna seperti melempar bola panas. Siapa saja yang membaca statusnya bisa merasa kepanasan dibuatnya. Luna mendapat banyak dukungan sekaligus kritik pedas. Tidak lama kemudian, Luna menutup akun Twitternya.

Apa yang bisa kita simpulkan pada kedua kasus di atas? Apakah perempuan lebih sering terseret dalam masalah saat berurusan dengan situs jejaring sosial? Wah, laki-laki juga punya banyak masalah akibat penggunaan Facebook atau Twitter. Apakah jejaring sosial lebih cocok bagi perempuan sampai akhirnya menyeret mereka dalam masalah yang tidak pernah mereka duga sebelumnya? Mungkin.

Sebuah survey menyimpulkan bahwa dibandingkan dengan laki-laki, perempuan lebih cenderung mengalami kecanduan dengan Facebook. Lightspeed Research melakukan survey terhadap 1.605 pengguna Facebook di Amerika Serikat. Hasil survey menunjukkan bahwa warga Amerika Serikat semakin banyak yang terobsesi dengan Facebook, terlebih-lebih perempuan. Lightspeed Research mencatat, perempuan merupakan kelompok yang paling sering mengakses Facebook. Sebanyak 34 persen perempuan berusia 18 hingga 34 tahun yang disurvey mengakui bahwa aktivitas pertama yang mereka lakukan saat bangun pagi adalah mengecek akun Facebook. Tidak hanya pagi hari saja, malam hari juga mereka gunakan untuk mengakses Facebook. Sebanyak 20 persen perempuan yang disurvey larut dalam berjejaring sosial di Facebook pada malam hari sebelum mereka larut dalam tidur. Sedemikian kecanduannya pada Facebook, sebanyak 26 persen perempuan sering terbangun di malam hari hanya sekedar membaca pesan yang mereka terima di Facebook!

Menulis status, mengirim dan membalas pesan, memberi komentar pada status atau dinding teman di situs jejaring sosial, adalah aktivitas yang melibatkan kata-kata. Saat kita menulis status, mengirim dan membalas pesan, memberi komentar pada status atau dinding teman, kita sedang berbicara pada orang lain. Kita sedang berbicara dalam bahasa tulis. Dari hasil survey di atas, perempuan lebih sering mengakses Facebook dibandingkan laki-laki. Pertanyaannya, apa hal ini karena perempuan lebih banyak berbicara? Apakah karena perempuan lebih suka bicara dibanding laki-laki, yang dari kesukaannya berbicara ini memungkinkan perempuan mengungkapkan isi kepalanya di status akun miliknya atau di dinding orang lain atau berkomentar atas status orang lain?

Saya belum tahu apakah sudah ada hasil penelitian tentang hubungan antara banyaknya seseorang berbicara dengan banyaknya orang tersebut menuangkan bahasa tulis di Facebook. Penelitian yang sudah ada menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat keterbukaan (openness to experience) yang tinggi lebih cenderung melakukan aktivitas yang bersifat sosial di Facebook, seperti memberi komentar di dinding teman, mengirim ke dinding teman, maupun menulis pesan pribadi—aktivitas yang banyak menggunakan bahasa tulis dalam berhubungan dengan orang.

Untuk persoalan komunikasi laki-laki dan perempuan, lebih tepat kiranya jika kita bertanya pada John Gray, penulis buku Men Are From Mars, Women Are From Venus. “Bila sedang mengalami ketegangan jiwa, secara naluri perempuan merasa perlu membicarakan perasaan-perasaannya dan segala masalah yang mungkin berkaitan dengan perasaan-perasaannya itu,” begitu kata John Gray. “Bila ia marah, ia marah mengenai segala sesuatunya, yang besar dan yang kecil. Ia tidak langsung ingin memecahkan kesulitan-kesulitannya, melainkan mencari kelegaan dengan mengungkapkan dirinya dan ingin dimengerti,” begitu lanjut John Gray.

Bersenggolan dengan kamera mungkin masalah kecil bagi sebagian orang. Tapi, sekecil-kecilnya masalah kecil tidak bisa mengecilkan kemarahan Luna karena bersenggolan dengan kamera. Sesungguhnya, lebih karena pemegang kameranya, ya ‘wartawan’ infotainment itu tadi, masalah kecil ini menjadi besar bagi Luna. Atau, bersenggolan dengan kamera merupakan peluang bagi Luna untuk mengungkapkan kepada banyak orang, terutama ‘wartawan’ infotainment, agar mereka bisa memahami perasaannya. Twitter menjadi sarana yang memungkinkan bagi Luna agar orang yang seharusnya memahami dirinya mau mendengar kicauannya. Dan dia melakukannya.

Sementara, terhadap perseteruan Luna dengan ‘wartawan’ infotainment ini, seseorang berkomentar di sebuah blog, “saya prihatin, masalah kecil kok dibesar-besarkan”. Tapi, masalah kecil tidak bisa dianggap remeh, terutama jika kita bisa mendapat banyak pelajaran dari masalah kecil itu.

Persoalan yang dianggap kecil ini sebenarnya dapat dirunut pada dinamika komunikasi laki-laki dan perempuan. Masalah komunikasi tentu sudah menjadi persoalan banyak orang di banyak tempat. “Kaum laki-laki masuk gua, kaum perempuan berbicara,” begitu John Gray membedakan dinamika komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki cenderung menyelesaikan persoalan mereka sendirian, sedangkan kaum perempuan cenderung membicarakan persoalan-persoalannya kepada orang lain. Bagaimana laki-laki menyelesaikan masalahnya? “Bila mengalami ketegangan, laki-laki akan menarik diri ke goa pikirannya dan memusatkan perhatiannya untuk memecahkan persoalan. Biasanya ia akan memilih persoalan yang paling mendesak atau yang paling sulit. Perhatiannya jadi begitu terpusat pada pemecahan masalah itu, sehingga untuk sementara ia kehilangan kesadarannya tentang hal-hal lain,” begitu kata John Gray. “Bila tidak dapat menemukan pemecahan, ia melakukan sesuatu untuk melupakan kesulitan-kesulitannya, seperti membaca surat kabar atau melakukan permainan,” lanjutnya.

Pada sisi lain, bagaimana perempuan menyelesaikan persoalannya? “Dengan membicarakan segala persoalan tanpa memusatkan perhatian pada pemecahan masalah, perempuan merasa lebih baik. Dengan menjajagi perasaan-perasaannya dalam proses ini, ia memperoleh kesadaran yang lebih besar mengenai apa yang sesungguhnya merisaukan hati, dan kemudian tiba-tiba ia tidak lagi terbebani” ungkap John Gray. “Bila perempuan sedang kewalahan, ia menemukan keringanan dengan berbicara secara mendetail mengenai segala macam kesulitannya. Lambat laun, bila merasa didengarkan, ketegangan jiwanya lenyap. Setelah berbicara mengenai salah satu topik, ia akan berhenti sejenak, kemudian melanjutkan ke topik berikutnya,” begitu ulas John Gray.

Pendapat John Gray di atas menyiratkan bahwa perempuan lebih banyak bicara dibandingkan laki-laki. Untuk sementara kita bisa mengasumsikan bahwa perempuan lebih banyak menggunakan Facebook atau situs jejaring sosial yang lain untuk mengungkapkan berbagai persoalannya. Mungkin yang diungkapkan melalui situs jejaring sosial bisa membuat perempuan merasa ringan dalam menghadapi persoalannya. Namun, ada juga, alih-alih merasa lega atas persoalannya, orang seperti Luna dibuat kewalahan atas ucapan yang ditulisnya. Yang dilakukannya merupakan konsekuensi atas kecenderungan perempuan dalam menyelesaikan masalah: banyak-banyak membicarakan masalah itu walau tidak menyelesaikan masalah secara langsung. Yang dibutuhkan perempuan hanyalah perasaan lega ketika membicarakan masalahnya. Namun, sungguhkah perempuan lebih suka berbicara dibandingkan laki-laki?

Penelitian Matthias R. Mehl bersama kolega-koleganya membuat kita untuk sementara menahan pendapat John Gray. Mehl menyimpulkan bahwa perempuan tidak lebih suka berbicara daripada laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya rata-rata berbicara dalam jumlah kata yang sama setiap hari.

Untuk merekam kata-kata yang digunakan subjek, peneliti menggunakan suatu alat yang disebut Electronically Activated Recorder (EAR). Jika Anda ingin tahu apa saja yang dibicarakan pasangan Anda sepanjang hari selain waktu tidurnya, alat ini sangat Anda butuhkan. EAR adalah perekam suara digital yang bisa menelusuri interaksi dari suatu peristiwa ke peristiwa yang lain di dunia nyata. EAR dapat digunakan untuk melakukan penelusuran secara alami atas kata-kata yang diucapkan dan menaksir berapa banyak laki-laki dan perempuan menggunakan kata-kata setelah lewat satu hari.

Penelitian dilakukan melalui enam kali pengambilan sampel dengan melibatkan 396 peserta yang terdiri atas 210 perempuan dan 186 laki-laki. Penelitian diadakan dari tahun 1998 sampai 2004. Lima sampel terdiri dari mahasiswa-mahasiswa di Amerika Serikat dan satu sampel terdiri dari mahasiswa-mahasiswa di Meksiko. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa perempuan berbicara rata-rata 16.215 kata dan laki-laki rata-rata berbicara dalam 15.669 kata perhari. Data yang diperoleh gagal memunculkan pengaruh perbedaan jenis kelamin dalam penggunaan kata sehari-hari. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya menggunakan rata-rata 16.000 kata perhari. Mehl dan kolega-koleganya menyimpulkan bahwa stereotipe yang tersebar dan terpublikasi luas bahwa perempuan lebih banyak berbicara tidak ditemukan dalam penelitian mereka.

Dari hasil penelitian Mehl dan kolega-koleganya di atas, kita harus menahan asumsi bahwa seringnya perempuan menggunakan facebook daripada laki-laki karena kesukaan perempuan dalam berbicara. Gray pun perlu mengingat ungkapannya bahwa dia telah “membuat banyak generalisasi mengenai kaum laki-laki dan perempuan”. Mungkin persoalannya bukan siapa yang paling suka berbicara, karena laki-laki dan perempuan sama-sama suka berbicara. Persoalannya mungkin bersumber dari sesuatu di luar kesukaan perempuan berbicara. Mungkin yang membuat perempuan banyak menghabiskan waktu di facebook bukan karena perempuan lebih sering menulis status, mengirim dan membalas pesan, memberi komentar pada status atau dinding teman di facebook, dan berbagai aktivitas lain sebagai cara perempuan berbicara dengan bahasa tulis. Aktivitas bersama facebook yang tidak berhubungan dengan berbicara dengan bahasa tulis diantaranya mungkin meng-upload foto dirinya di facebook.

Memang itulah hasil penelitian Tiffany A. Pempek dan kolega koleganya. Hasil penelitian Pempek menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mem-posting foto di facebook. Perempuan juga lebih banyak mendapat tag foto dari temannya daripada laki-laki. Perempuan juga lebih banyak menghapus nama dirinya yang di-tag di suatu foto. Alasan umum mengapa perempuan menghapus namanya di suatu foto adalah karena ketidaksukaannya atas penampilan dirinya di foto tersebut.

Persoalannya bukan siapa yang banyak bicara, tetapi apa yang dibincangkan oleh laki-laki dan perempuan? Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam caranya menggunakan bahasa. Dengan kata lain, ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menentukan apa yang dianggap penting bagi mereka untuk dibincangkan.

Matthew L. Newman, pengajar di Departmen Ilmu Sosial dan Perilaku Universitas Arizona, bersama kolega-koleganya menganalisa lebih dari 14.000 arsip tertulis dari 70 penelitian terpisah. Newman dan kolega-koleganya menyimpulkan bahwa perempuan menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan proses psikologis dan sosial. Sementara, laki-laki lebih sering menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan kepemilikan suatu benda dan topik-topik yang tidak berkaitan dengan orang tertentu.

Pada penelitian Newman ini, perempuan menyumbang 8.353 arsip tertulis. Hasil analisanya terhadap arsip tertulis tersebut menunjukkan bahwa perempuan cenderung mendiskusikan seseorang dan apa yang mereka lakukan. Perempuan juga suka mengkomunikasikan proses internal mereka pada orang lain, termasuk keraguan-keraguannya. Kata-kata yang berhubungan dengan pikiran, emosi, perasaan, orang lain, penyangkalan, kata kerja sekarang dan kata kerja lampau, lebih sering digunakan oleh perempuan daripada laki-laki.

Sedang pada laki-laki, yang mengumbangkan 5.970 arsip tertulis dalam penelitian ini, bahasa lebih cenderung dipakai untuk menyebut nama-nama atas peristiwa eksternal, benda-benda, dan proses-proses. Sembari berdiskusi tentang jabatan, uang dan olah raga, laki-laki menggunakan bahasa teknis seperti angka-angka, artikel (yang dalam bahasa Inggris berarti the, a, dan an), kata depan, dan kata-kata panjang. Kata-kata yang mengandung sumpah juga banyak digunakan oleh laki-laki.

Laki-laki dan perempuan tidak menunjukkan perbedaan dalam penggunaan kata-kata terkait seksualitas, kemarahan, waktu, penggunaan kata orang-pertama jamak, jumlah kata dan tanda tanya yang digunakan, dan kata-kata eksklusi yang disisipkan (seperti ‘tetapi’, ‘meskipun’ dan sebagainya).

Jadi, merujuk penelitian Newman di atas, perempuan akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk membicarakan pikiran, emosi dan perasaannya sendiri, juga pikiran, emosi, dan perasaannya terhadap orang lain, untuk ditulis di status Facebooknya. Mungkin juga berkaitan dengan kejengkelannya pada seseorang, kebimbangannya dalam memutuskan sesuatu, dan tanggapannya terhadap sikap orang lain. Jadi, sikap Melati yang mengatakan bahwa, ”ke depan saya tidak mau mengomentari Facebook orang lain” mungkin membutuhkan upaya besar menolak kecenderungan untuk membincangkan pikiran, emosi, dan perasaannya sendiri dan membincangkan orang lain.

Sedangkan laki-laki, mereka mungkin akan menuliskan statusnya yang berhubungan dengan karya atau pekerjaan mereka, kota yang sedang dikunjungi, peristiwa terkini, barang yang ingin dimiliki atau baru saja dimiliki, pertandingan sepakbola yang baru ditonton, dan apa saja yang tidak berhubungan dengan membincangkan seseorang secara khusus.

Tampaknya, jika Anda diminta oleh teman Anda untuk menebak jenis kelamin seorang pengguna Facebook atau Twitter yang tidak Anda kenal sebelumnya, yang menulis apapun mengenai orang lain, baik itu bernada memuji atau menghina, saya menyarankan Anda untuk menjawab bahwa pengguna situs jejaring sosial itu berjenis kelamin perempuan. Ini bukan mengenai meninggikan status jenis kelamin tertentu dan merendahkan yang lain. Ini menyangkut kemungkinan Anda menjawab dengan benar atas tebakan yang diajukan teman Anda itu. []

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 22 Juli 2010

Menit untuk Anakku: Kata Pengantar Buku Pengantar


Menjadi orangtua berhubungan dengan waktu yang kita lalui setiap hari. Menjadi orangtua berhubungan dengan menit-menit yang kita lalui bersama anak-anak kita. Mungkin kita melaluinya hanya beberapa menit saja setiap hari. Tapi menit-menit itu adalah menit-menit yang memungkinkan kita menjadi orangtua.

Tidak jarang, kesibukan sehari-hari membuat kita tidak punya waktu untuk bersama anak-anak kita. Tidak jarang, tugas-tugas kita sehari-hari membuat kita, walau sementara, tercerabut dari tugas-tugas sebagai orangtua.

Hari-hari kerja membuat waktu, pikiran dan tenaga kita terkuras untuk urusan kerja. Pergi pagi pulang sore, bahkan sampai larut malam. Waktu sore atau malam hari bersama anak-anak kita, kalaupun ada, adalah waktu-waktu sisa. Pikiran dan tenaga yang kita curahkan untuk anak-anak kita mungkin juga sisa hari itu. Pagi hari, apalagi di kota besar, mungkin kita lebih dahulu berangkat kerja daripada anak-anak kita bangun pagi dan berangkat sekolah. Mungkin gambaran kita dalam berhubungan dengan anak-anak kita tidak seekstrem itu. Atau mungkin juga lebih ekstrem dari itu. Yang lebih penting adalah, menjadi orangtua berhubungan dengan waktu, yakni menit-menit yang kita miliki, dan kita berikan untuk anak-anak kita.

Apa yang terkandung dalam menit-menit yang kita miliki dan kita berikan pada anak-anak kita? Menit-menit itu adalah menit-menit yang kita hargai sendiri nilainya. Mungkin menit-menit itu tidak bernilai apa-apa. Mungkin menit-menit itu adalah menit-menit yang paling berharga sepanjang hidup buat kita dan anak-anak kita. Namun, sebagai sebuah pemberian yang berharga, menit-menit yang kita berikan untuk anak-anak kita adalah menit-menit yang sangat bernilai. Lantas, apa yang membuat menit-menit itu bernilai?

Menit-menit bersama anak-anak kita bernilai karena ada pelajaran yang kita berikan pada anak-anak kita; ada pelajaran yang kita terima dari anak-anak kita. Ada sikap-sikap kita yang membuat anak-anak kita menjadi lebih dewasa; ada sikap-sikap anak-anak kita yang membuat kita lebih matang sebagai orangtua. Ada kebajikan-kebajikan yang kita munculkan pada anak-anak kita; ada kebajikan-kebajikan yang anak-anak kita munculkan kepada kita. Kita makin memahami esensi menjadi orangtua; anak-anak kita memahami esensi menjadi seorang anak. Kita makin menghargai keberadaan anak-anak kita; mereka makin menghargai keberadaan kita. Menit-menit dimana kita dan anak-anak kita saling diliputi cinta dan kebahagiaan. Menit-menit dimana kita dan anak-anak kita saling belajar tentang kehidupan. Dan sebagainya dan sebagainya. Pada akhirnya, kita memandang menit-menit yang kita lalui bersama anak-anak kita sebagai menit-menit yang bernilai karena memang kita memandangnya bernilai. Ya, menit-menit itu adalah warisan kita yang paling berharga buat anak-anak kita.

Buku ini mengajak kita menggunakan waktu yang kita miliki, ya, menit-menit yang kita lalui setiap hari, untuk kita lewatkan bersama anak-anak kita. Mungkin hanya beberapa menit saja dari waktu yang kita miliki setiap hari, namun menit-menit itu sangat bernilai bagi kita, juga bagi anak-anak kita. Pada akhirnya, menit-menit yang kita miliki dan kita berikan untuk anak-anak kita pada dasarnya bukan menit-menit milik kita, tetapi menit-menit milik anak-anak kita. Buku ini mengajak kita memberikan menit-menit yang kita miliki setiap hari untuk mereka.

Bagian-bagian dalam buku ini ditulis secara singkat. Setiap bagian selesai dibaca dalam satu sampai dua menit. Anda bisa mulai membacanya dari bagian manapun yang disukai. Dengan tidak menguras waktu membaca, menit-menit yang Anda lalui setelah membaca buku ini sebaiknya digunakan bersama anak-anak Anda.

Tiap judul dalam buku ini diawali dengan kutipan para tokoh. Beberapa saya kenal, beberapa lagi tidak saya kenal dan beberapa yang lain memang tidak dikenal siapa pengarangnya. Ungkapan para tokoh itu menggerakkan saya untuk menulis judul demi judul dalam buku ini. Sesungguhnya, ide penulisan tiap-tiap judul bukan dari saya, tetapi dari para tokoh itu. Mungkin lebih tepat kalau saya hanya sebagai perantara yang menghubungkan gagasan para tokoh itu dengan Anda. Bacalah buku ini seolah-olah para tokoh itu sedang membisikkan kalimat yang sangat bermakna kepada Anda. Semoga apa yang mereka bisikkan khusus untuk Anda akan Anda teruskan dan mewujud dalam tindakan.

Buku ini dimaksudkan sebagai teman Anda dalam mengarungi peran sebagai orangtua. Buku ini diharapkan dapat menjadi kawan akrab bagi Anda dalam berhubungan dengan anak-anak Anda setiap hari. Layaknya kawan akrab, buku ini dibutuhkan manakala Anda dalam keadaan senang maupun saat menghadapi kesulitan dalam berhubungan dengan anak-anak Anda. Harapannya, buku ini akan selalu dibutuhkan selama Anda menjalani peran sebagai orangtua. Singkatnya, buku ini semacam buku harian untuk orangtua.

Akhir namun bukan terakhir, buku ini mungkin buku sederhana, tetapi semoga tidak membuat kita menyederhanakan peran kita sebagai orangtua. Mari kita berikan menit-menit yang kita miliki untuk anak-anak kita dengan cara menjadi orangtua hari ini juga.[]

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 03 Mei 2010

Facebook Pitfalls: Menjadi Pemimpin Jempolan atau Tak Mampu Mengendalikan Jempol?

Facebook telah menarik perhatian banyak orang di dunia. Terhitung pada Januari 2010, facebook menjadi situs jejaring sosial tersibuk dengan pengguna sebanyak 350 juta orang—benar nggak sih? Saya dan Anda termasuk beberapa orang di antara mereka yang memiliki akun facebook dan aktif menggunakannya. Kesempatan saya menulis artikel ini dan kesediaan Anda membacanya mungkin salah satu wujud ikutan ketertarikan kita pada facebook: tidak hanya menggunakannya, tetapi membahas hal ikhwal yang berkaitan dengan facebook. Karena, sebagai pengguna facebook, membahas tentang hal ikhwal facebook sebenarnya juga membicarakan tentang diri kita sendiri. Salah satunya adalah ini: apakah facebook punya perangkap (pitfall) yang, namanya juga perangkap, kita tidak tahu berada di mana perangkap itu?

Mendengar kata ‘perangkap’, ingatan saya terbawa pada segala cerita tentang pencarian harta karun. Setelah mengetahui tempat dimana harta karun itu berada, sang pencari harta karun akan mencapainya. Dan, suatu kelimpahan, kemewahan, juga keberuntungan memiliki harta karun tidak diberikan cuma-cuma. Seseorang membutuhkan pengorbanan yang cukup untuk memilikinya. Saat sang pencari harta karun itu melewati sepanjang jalan di mana harta karun berada, kemudian mendekatinya, akan ada banyak perangkap di sana sini. Sang pencari harta karun yang tak lolos dari perangkap mungkin akan pulang dengan nama—dan makin mendorong orang banyak untuk terus mencari harta karun itu. Dan, orang yang mengetahui tentang seluk beluk perangkap itulah biasanya yang akan mendapatkan harta karun itu.

Dalam facebook ada harta karun sekaligus perangkap. Inilah sarana komunikasi yang bisa dinikmati dan dirayakan oleh banyak orang di dunia. Facebook seperti kelimpahan, kemewahan dan keberuntungan manusia abad ke-21 yang diberikan cuma-cuma. Betapa tidak, melalui facebook kita bisa melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan orang di generasi sebelumnya, misalnya, mencolek kawan SD kita dahulu, yang sedang berada di ujung benua yang lain. Namun, facebook sebenarnya hadir di hadapan kita tidak dengan cuma-cuma. Facebook akan menarik ongkos dari kita, misalnya waktu yang kita habiskan untuk menulis status di akun facebook kita, atau pulsa yang kita sisihkan untuk bisa mengaksesnya. Sebagaimana harta karun, facebook juga punya perangkapnya sendiri. Colekan kita di akun facebook orang lain juga punya perangkap: siapa yang kita colek itu dan dengan maksud apa kita mencolek? Mungkin kita tidak tahu akibatnya sampai pacar atau istri atau suami kita cemburu atas colekan yang kita perbuat—dan ternyata itu baru awal dari malapetaka.

Facebook pitfalls, moga-moga ini nama yang tepat—saya mencuri frase ini dari artikel orang. Sebutan ini untuk menggambarkan tentang adanya berbagai perangkap dalam facebook. Beberapa kasus penculikan, pemerkosaan, dan berbagai bentuk kejahatan yang dimulai dari penggunaan facebook di antara korban dan pelaku –yang kerap diberitakan di media massa—adalah gambaran gamblang dari facebook pitfalls ini. Namun, kali ini saya tidak hendak membicarakan tentang perangkap yang gamblang ini, mungkin lain waktu. Saat ini, saya ingin mengajak Anda membahas tentang kemungkinan perangkap yang agak halus. Saya ajak Anda membahas tentang penggunan facebook yang membuat siapa saja yang memiliki akun facebook bisa memilih: menjadi pemimpin jempolan atau jadi seorang yang tak mampu mengendalikan ujung jempolnya?

Ψ

Saya sering melongok jumlah teman yang dimiliki teman saya di akunnya. Setidaknya ini bisa menjadi gambaran saya untuk mengetahui seberapa lama atau seberapa aktif teman saya itu menggunakan facebook. Biasanya saya akan terus melakukannya, melongok jumlah teman pada akun facebook teman-teman saya yang lain. Mungkin gambaran yang saya peroleh tidak terlalu pas, bahwa dengan mengetahui jumlah teman yang dimiliki saya bisa mengetahui seberapa lama dan seberapa aktif dia menggunakan facebook. Yang saya tahu—sebenarnya ini baru saya ketahui—jumlah teman yang dimiliki seseorang, dan juga banyaknya group yang diikuti, menentukan seberapa besar modal sosial (social capital) yang dimilikinya. Ini lebih menarik dikaji daripada sekedar mengetahui sudah berapa lama dan seberapa aktif teman saya di facebook. Kalau toh benar itu menarik, saya kira hanya karena lama dan aktifnya seorang kawan saya di facebook mungkin berpengaruh terhadap akumulasi modal sosial yang dimilikinya. Apa itu modal sosial? dan mengapa memiliki kawan dan group di facebook berhubungan dengan modal sosial yang dimilikinya? Saya kira, penjelasannya nanti akan berhubungan dengan keadaan bahwa menjadi pemimpin berkaitan dengan seberapa besar modal sosial yang dimiliki dan, penjelasan selanjutnya, seberapa besar facebook membuat keadaan itu menjadi niscaya.

Apa itu modal sosial? Beberapa orang mengartikan modal sosial sebagai, “sejumlah sumber, baik nyata atau maya, yang ada pada individu atau kelompok berdasarkan kepemilikan jaringan atas lebih banyak atau lebih sedikitnya hubungan saling kenal”. Dengan kata lain, modal sosial adalah sejumlah sumber yang dapat digunakan oleh seseorang sebagai hasil dari hubungan sosial dengan orang lain. Apa sumber sumber itu? Banyak macamnya, bisa berupa sesuatu yang nyata atau tidak nyata. Bisa berupa bantuan dana untuk usaha kecil dari teman lama; informasi lowongan kerja dari teman kuliah; keterlibatan dalam aktivitas sosial tertentu; sampai dukungan dari teman-teman Anda yang mengkampanyekan Anda menjadi calon pemimpin di tempat kelahiran Anda. Karena inilah, sebagai pengguna facebook, Anda seperti pencari harta karun. Anda dapat memperoleh harta karun yang berharga sebagai hasil interaksi Anda dengan orang lain. Namun, sekali lagi, harta karun yang disediakan facebook sama banyak dengan perangkap yang ada di sekitarnya.

Ψ

Contoh terbaik tentang bagaimana pengguna facebook dapat memperoleh harta karun yang berharga sebagai buah modal sosial yang dimilikinya adalah Barack Obama. Ia mendapat untung dari pertemanan yang dilakukan di facebook saat dirinya berkampanye sebagai calon Presiden Amerika Serikat tahun 2008. Saat ini, Obama mungkin belum bisa disebut pemimpin jempolan, setidaknya karena ia belum merampungkan satu periode penuh kepemimpinannya. Namun, kiprahnya yang belum seberapa itu mampu mengusik para petinggi Komite Nobel untuk sesegera mungkin mengacungkan jempol padanya. Pada 10 Desember 2009, mata dunia tertuju padanya, dan dengan tekun mendengarkan, saat ia berpidato di Oslo, Norwegia, sebagai salah seorang pemenang hadiah Nobel.

Apa yang dilakukan Obama saat itu dengan facebook? Mungkin lebih tepatnya, apa yang dilakukan pendukung Obama di facebook? Partai Demokrat yang mengusungnya membangun basis data melalui internet—artinya tidak hanya melalui facebook saja. Group di facebook dibuat untuk mendukung pencalonannya sebagai presiden AS—jauh-jauh hari sebelum deklarasi pencalonan. Pada awal 2007 saja, ada group Obama berjumlah 500 macam. Seorang mahasiswa universitas Misouri membuat grup pertama kali dengan judul “Sejuta Kekuatan untuk Barack”. Selanjutnya, ia mendapat banyak sumber sebagai hasil pertemanannya: para voluntir dan dana kampanye—modal yang sangat berharga bagi seorang calon presiden.

Apa yang dilakukan Obama dengan facebooknya persis seperti penggambaran Mike Westler tentang facebook: situs jejaring populer yang “cocok untuk sebuah komunikasi yang dimaksudkan untuk mengorganisir dan mengumpulkan sejumlah anggota agar bertindak sesuai tujuan bersama.” Katanya pula, facebook itu “berpotensi memperluas konsep Jurgan Habermas tentang ruang publik yang mengijinkan publik terlibat dalam tindakan politik baik saat kampanye maupun di luar kampanye.”

Beberapa waktu lalu, ketertarikan pada jejaring sosial ini menggoda seorang Hugo Chavez. Menjadi pemimpin jempolan, setidaknya dimata warga dan pengagumnya, mendorong Hugo Chavez membuka akun di twitter. Sebagai orang yang sudah banyak penggemar di dunia, wajar saja jika dalam satu jam pertama sejak ia membuka akunnya, ribuan orang berbondong-bondung menjadi penggemarnya. Dengan kata lain, ia telah memiliki modal sosial yang besar dan fungsi jejaring sosial, dalam hal ini twitter, lebih sebagai upaya untuk menjaga modal sosial yang sudah ada.

Ψ

Kali ini kita akan membahas tentang perangkap itu. Alih-alih menjadi pemimpin jempolan semacam Obama, seseorang bisa berada dalam perangkap facebook yang parah: ia tidak bisa mengendalikan ujung jempolnya. Saat berbagai jenis handphone—ini pengaburan atas kelemahan saya yang tidak mengetahui jenis-jenis handphone dan berbagai gadget yang ada saat ini—memungkinkan seseorang mengakses facebook, pengguna facebook seperti majikan yang tak mau membiarkan anak buahnya menganggur: di segala tempat, dalam waktu kapanpun, ia akan terus menggunakan ujung jempolnya untuk mengetikkan status atau melakukan aktivitas lain di akun facebooknya.

Apakah Anda tergolong sebagai pengguna facebook semacam ini, yang tidak membiarkan ujung jempol Anda menganggur? Kalau ya, Anda perlu hati-hati. Alih-alih Anda menggali lubang untuk mencari harta karun yang terpendam dalam, Anda secara tidak sadar sedang menimbun dalam-dalam tubuh Anda sendiri bahkan sebelum Anda menemukan harta karun yang Anda cari itu. Artinya, alih-alih Anda sedang membangun dan menjaga modal sosial melalui pertemanan yang Anda lakukan di facebook, Anda secara tidak sengaja terperosok pada perangkap facebook. Ya, saat Anda sering menggunakan jari-jari Anda, termasuk jari jempol Anda, saat menggunakan facebook, mungkin Anda sedang diseret-seret untuk masuk pada suatu jerat bernama facebook pitfalls.

Mengapa bisa demikian? Mengapa kita tidak bisa mengendalikan diri kita sendiri, termasuk mengendalikan salah satu jempol kita, saat menggunakan facebook? Salah satu alasan yang mungkin adalah karena facebook itu sendiri semacam seni. “Facebook itu seperti benda estetis”, begitu kata Gaurav Anand. Menggunakan facebook tak ubahnya seperti sedang membuat lukisan abstrak! Karena kita tidak bisa dengan pasti melakukan apa yang kita rencanakan saat kita mulai log in di akun facebook kita. Atau, kita bahkan tidak punya rencana apapun saat kita mulai log in. kita membiarkan interaksi kita dengan facebook mengalir apa adanya. Saat kita mulai log in, kita mungkin akan dikejutkan oleh permintaan pertemanan kawan lama; pesan seorang teman yang ditulis di wall atau inbox; ajakan seorang kawan untuk bergabung di group tertentu; atau ajakan seorang kawan untuk mengisi kuis yang menurut kita menarik. Dan, sebagaimana seniman yang larut dalam pekerjaan seninya, kita pun larut saat menggunakan facebook.

Alasan lain mungkin ini, sebagaimana dikutip dari sebuah artikel: “facebook itu suatu permainan: tujuannya adalah memperoleh banyak teman dan mempengaruhi orang lain.” Kalau ajaran Dale Carnegie di awal abad ke-20 untuk mendapatkan banyak teman dan mempengaruhi orang lain diterima sebagai keajaiban dan kita dengan khusyuk mengikuti sebagaimana tertuang dalam petunjuk-petunjuknya, pada abad sekarang ini, mendapatkan banyak teman dan mempengaruhi orang lain bahkan bisa dilakukan sambil bermain-main. Ya, berteman sambil bermain atau bermain sambil berteman—mengingatkan kita saat kecil dahulu, sungguh aktivitas yang menyenangkan! Selain itu, tentu saja, karena dalam facebook sendiri terdapat aplikasi yang menyediakan banyak permainan yang bisa kita pilih dan nikmati sesuai selera.

Dan, sebagaimana terdapat dalam jenis permainan apapun, di dalam facebook terdapat kesenangan. Menggunakan facebook seperti cara kita mengingatkan sifat dasar kita sendiri sebagai manusia: manusia pada dasarnya bertindak demi memenuhi kesenangannya sendiri (pleasure principle). Untuk urusaan kesenangan, tidak jarang kita kehilangan kendali atas diri kita, termasuk tidak bisa mengendalikan salah satu alat tubuh paling vital dalam hidup kita saat ini: jempol!

Berharap dimudahkan jalan untuk menjadi pemimpin macam Obama? Mungkin facebook terlalu berat untuk membesarkan nama kita. Atau nama kita terlalu ringan sehingga tidak memungkinkan bagi facebook untuk mengangkat nama kita. Namun alasan yang lebih tepat mungkin ini: kita tidak benar-benar menggunakan facebook untuk menjembatani, mengikat dan menjaga modal sosial yang kita miliki. Ada tujuan-tujuan lain yang lebih bersifat pemenuhan atas kebutuhan kesenangan kita sampai-sampai kita tidak bisa mengendalikan jempol kita. Jika mengendalikan seujung jempol kita sendiri saja tidak bisa, kita tidak akan bisa menggunakan jari telunjuk untuk memerintah orang lain.

Ψ

Kembali pada pertanyaan di atas, mana yang kita pilih: menjadi pemimpin jempolan atau jadi seorang yang tak mampu mengendalikan ujung jempolnya? Tentu jawabannya kembali pada diri kita, mau mendapatkan harta karun atau masuk ke dalam perangkap di sekitarnya. Mustahil mendapatkan harta karun tanpa melewati jalan yang penuh perangkap, sebagaimana mustahil mendapatkan sumber-sumber kekayaan (apapun) dari jejaring yang kita miliki tanpa mau mengajak atau menerima ajakan seseorang untuk berteman.

Di abad ke-21 ini, mengunakan facebook seperti perburuan mendapatkan harta karun. Segala kisah perburuan harta karun mengajarkan kita bahwa orang yang mampu mendapatkan harta karun adalah mereka yang mampu membaca peta, mau melangkah dan mawas diri dalam mengadapi segala perangkap yang mungkin menghampiri. selamat berburu![]

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 25 Maret 2010

Yang Saya Yakini tentang Kaidah 10.000 Jam

Siapa pun Anda, apa pun latar belakang Anda, untuk mencapai keahlian dalam bidang apa pun yang sedang Anda geluti, Anda lebih baik mengetahui tentang cara untuk menjadi ahli. Cara itu bernama kaidah 10.000 jam. Apa itu kaidah 10.000 jam? Kaidah 10.000 jam adalah ini: untuk menjadi ahli dalam bidang apa pun seseorang harus melewati latihan yang dibutuhkan untuk menjadi ahli, yakni minimal 10.000 jam. Saya baru mengetahui bahwa telah banyak penelitian psikologi yang membuktikan kebenarannya setelah saya membaca salah satu bab dalam buku karangan Malcolm Gladwell, Outliers. Dalam bab itu Gladwell mengisahkan perjalanan para genius mayor yakni Mozart, group musik The Beattles, dan Bill Gates. Para genius mayor itu telah melewati latihan selama 10.000 jam sebelum akhirnya mereka menjadi ahli di bidangnya. Penasaran dengan kaidah 10.000 jam, saya browsing di internet dan baru mengetahui bahwa kaidah 10.000 jam telah diyakini kebenarannya oleh para peneliti psikologi setidaknya sejak tahun 1983. Sayangnya, kaidah itu luput dari perhatian saya dan mungkin juga perhatian para dosen saya sehingga selama 5,5 tahun saya kuliah di psikologi saya tidak pernah tahu adanya kaidah 10.000 jam itu—kalau pun dosen saya mengajarkannya pada suatu sesi kuliah mungkin saat itu saya tidak masuk atau kalau pun masuk mungkin saya waktu itu lagi mengantuk.

Bagaimana hitungan 10.000 jam itu? Ini artinya jika kita menjalani bidang yang kita geluti—apa pun bidang yang kita geluti itu—setidaknya 3 jam dalam sehari, maka kita akan benar-benar bisa menjadi profesional setelah melewati jangka 10 tahun dari pertama kali kita menjalani latihan di bidang itu. Terlalu lama? Mungkin tidak. Seorang ahli saraf berkata bahwa memang demikianlah otak kita bekerja: otak kita membutuhkan waktu beberapa lama untuk bisa berkembang optimal.

Karena saya belum semahir Gladwell dalam menuliskan perjalanan orang lain menuju profesional yang konsisten dengan kaidah 10.000 jam, biarlah saya menceritakan perjalanan saya sendiri sejauh mana kaidah 10.000 jam ini berlaku pada saya. Perjalanan ini berkisar tentang pengalaman menulis—kegiatan yang menjadi kegemaran saya selama ini. Karena alasan-alasan tertentu saya tidak bisa melewatkan setiap hari selama 3 jam untuk menulis dan biarlah Anda menilai apakah kaidah 10.000 jam itu berlaku efektif pula pada saya. Saya menuliskan pengalaman ini tidak untuk gagah-gagahan. Ini cara saya berbagi pengalaman dengan Anda dan saya berharap Anda saat ini juga sedang melewati jalan menuju profesional sesuai kaidah 10.000 jam itu—dan nanti, jika ada kesempatan, Anda ceritakan pula perjalanan Anda itu pada saya.

Saya mulai ‘dipaksa’ menulis pada tahun 2000, yakni ketika saya, untuk pertama kali, diminta menuliskan naskah untuk buletin bulanan yang diterbitkan kawan-kawan Pelajar Islam Indonesia (PII). Kesepakatan di sidang redaksi, kami akan menulis bergiliran. Hanya saya diminta menulis lebih dahulu untuk edisi perdana. Saya pun menyanggupinya. Buletin pun terbit untuk pertama kali. Namanya buletin Cahaya Pelajar. Saya pun diam-diam bangga karena tulisan saya tersiar ke sekolah-sekolah di Kota Tegal, dibaca oleh para pelajar dan mungkin beberapa orang guru.

Tidak dinyana, saat bulan kedua mulai menjelang, yang berarti perlu segera menyiapkan naskah buletin untuk edisi berikutnya, kawan-kawan tidak ada yang menyanggupi untuk menulis. Sidang redaksi pun kembali menunjuk saya untuk menulis naskah buletin edisi kedua. Lagi-lagi, saya pun menyanggupinya. Buletin pun terbit kedua kalinya. Begitulah sidang redaksi menjalankan fungsinya: menunjuk saya untuk menulis naskah buletin kembali untuk edisi berikutnya. Sampai edisi keempat, edisi terakhir buletin Cahaya Pelajar, sayalah yang menuliskan naskah buletin itu. Tidak beberapa lama dari penulisan edisi terakhir itu, saya meninggalkan kota kelahiran menuju Yogyakarta untuk menuntut ilmu.

Sebelum berkisah lebih jauh tentang bagaimana saya menjalani pengalaman menulis di kota pelajar itu, saya ungkapkan bahwa dalam psikologi, peran menonjol yang mempengaruhi keterampilan seseorang terus berseteru: bakat vs lingkungan. Ada yang berpendapat kalau bakat berperan dominan menentukan kecakapan seseorang. Pendapat lain mengatakan kalau lingkungan lebih dominan. Saya lebih memilih pendapat yang kedua. Bakat hanya sebagian kecil saja. Lingkunganlah yang mendukung kecakapan kita. Lingkungan juga terkait dengan seberapa banyak waktu yang kita sisihkan untuk mengasah kecakapan kita. Ini adalah soal bagaimana kesempatan dan lingkungan bekerja membentuk keterampilan. Ini adalah soal bagaimana kita meluangkan kesempatan untuk berlatih dan berada dalam lingkungan yang mendukung kita memperoleh kesempatan berlatih terus menerus.

Di Yogyakarta, saya bertemu dalam lingkungan yang menguntungkan. Setidaknya ada dua lingkungan yang mendukung, yakni kota Yogyakarta itu sendiri dan lingkungan tempat saya aktif berorganisasi saat itu, yakni PII. Dalam dua lingkungan itulah saya bisa memiliki banyak kesempatan untuk terus menulis. Bagaimana tidak, Yogyakarta adalah ‘gudang’nya tiga interaksi: buku, penulis dan penerbit. Di kota inilah siapa saja bisa menulis buku dan memungkinkan buku itu diterbitkan. Namun, tingkat kematangan saya dalam menulis belum mengantar saya untuk menulis dan menerbitkan buku. Walau demikian, interaksi saya dengan buku, penulis dan penerbit di kota ini memberikan atmosfer yang mendukung saya untuk terus menulis. Saat itu, dengan dukungan sumber-sumber ide yang berlimpah, saya sedikit banyak menulis artikel untuk media cetak. Namun saya mencatat hanya sekali saja tulisan saya dimuat di salah satu koran lokal, Bernas.

Di PII, saya memperoleh lingkungan yang menghargai karya tulis. Setidaknya, kawan-kawan PII bersedia membaca hasil tulisan siapa pun—siapa yang tidak senang kalau hasil tulisannya dibaca oleh seseorang apalagi banyak orang? Setelah membaca tulisan saya, kawan-kawan pun memberi komentar, masukan dan beberapa diantaranya pujian—siapa yang hatinya tidak melambung saat hasil karyanya dipuji? Di tempat inilah saya memiliki lebih banyak waktu untuk menulis karena saya bisa menggunakan komputer di sekretariat untuk mengolah tulisan-tulisan saya kapan pun saya mau. Biasanya saya menempelkan beberapa lembar tulisan saya pada mading di ruang depan sekretariat. Tulisan itu ditempel begitu saja dengan sebuah push pin. Biasanya kawan-kawan melepas push pin dan membaca tulisan saya lalu menempelkan kembali di mading itu. Sekali-kali saya memeriksa berapa lubang pada lembar tulisan yang ditembus oleh push pin yang berarti minimal sejumlah itulah tulisan saya dibaca oleh kawan-kawan.

Usai kuliah, saya mendapat kesempatan untuk beranjak menuju Jakarta. Di kota ini, setidaknya saya telah memiliki kemampuan yang cukup dalam menulis—dan tulisan saya bisa dihargai. Sehingga, saat ada seorang kawan yang menawarkan saya untuk menjadi kontributor tulisan tentang pendidikan untuk sebuah majalah di sebuah direktorat pada sebuah departemen, saya tidak menyia-nyiakannya. Di kota ini pula, saya berkesempatan menjadi peneliti di sebuah lembaga penelitian yang memungkinkan saya terus menulis—setidaknya karena saya harus membuat beberapa lembar laporan hasil penelitian.

Kisah sekilas saya tentang pengalaman menulis di atas mungkin tidak terlalu lengkap dan detail—suatu saat nanti saya akan ceritakan lebih banyak pada Anda. Kisah saya di atas juga tidak terlalu wah. Banyak penulis-penulis lain yang lebih berdedikasi dalam menulis dan memperoleh pencapaian-pencapaian yang lebih berarti—dan membuat kita berdecak kagum. Namun, bagi saya, pengalaman menulis saya di atas sunguh-sungguh berarti—setidaknya saya makin menyadari bahwa saya sedang melewati masa latihan sekaligus sedang menguji pada diri sendiri bahwa untuk mencapai keahlian dalam menulis seseorang membutuhkan waktu setidaknya 10.000 jam.

Tahun ini, 2010, artinya selang 10 tahun dari pertama kali saya menjalani latihan menulis, saya belum menerbitkan buku apa pun. Kalau saya berasumsi bahwa menerbitkan buku merupakan bentuk pengakuan atas kecakapan saya dalam menulis, ini berarti saya belum benar-benar cakap dalam menulis. Sampai saat ini, artikel-artikel saya belum pernah dipublikasikan di media cetak nasional. Kalau saya berasumsi bahwa dimuatnya artikel di media cetak nasional merupakan bentuk pengakuan atas kecakapan saya dalam menulis, ini berarti saya belum benar-benar cakap dalam menulis. kesimpulannya, saya sudah melewati masa 10 tahun namun saya merasa belum menjadi seorang yang ahli dalam menulis.

Kembali pada kaidah 10.000 jam, saya perlu mengevaluasi bahwa mungkin saya belum benar-benar berlatih menulis sampai 10.000 jam. Saya tidak benar-benar menulis setiap hari, apalagi selama 3 jam sehari. Namun, dengan tetap meyakini kaidah 10.000 jam itu, saya akan tetap terus menulis. Saya merasa terus ada perkembangan dalam kualitas tulisan saya—setidaknya, secara subjektif, menurut saya sendiri. Walau sebenarnya, secara objektif, baik atau tidak baik kualitas tulisan saya, saya tidak terlalu menghiraukannya—saya akan terus menulis. Yang lebih saya hiraukan adalah bahwa kaidah 10.000 jam, yang telah berulang-ulang dibuktikan dalam penelitian psikologi, telah begitu meyakinkan berulang-ulang terbukti dalam kenyataan—pada siapa pun. Saya dan Anda pun bisa membuktikan kaidah itu pada diri kita sendiri, pada kecakapan apa pun yang ingin kita miliki. Sebagaimana kaidah 10.000 jam telah terbukti berlaku pada para genius mayor seperti Mozart, The Beattles, dan Bill Gates dalam bidang mereka masing-masing, kaidah itu juga bisa berlaku pada saya dan juga pada Anda—pada bidang Anda masing-masing. Yang dibutuhkan mungkin ini: kita perlu konsisten dalam berlatih dan terus-menerus terlibat dalam bidang yang sedang kita geluti, sampai kita benar-benar yakin bahwa kita telah melewati latihan setidaknya 10.000 jam. Sebagaimana saya sebut di atas, otak membutuhkan waktu beberapa lama sampai menunjukkan perkembangan optimal. Pada saatnya nanti kita bisa benar-benar meyakini bahwa kaidah 10.000 jam itu sungguh benar adanya—setelah kita menguji kaidah itu pada pada diri kita sendiri dan ternyata terbukti. Semoga.[]

Jakarta, 26 Maret 2010.

[+/-] Selengkapnya...

Kamis, 11 Maret 2010

Bekal Karakter

Seorang kawan yang maha baik mengizinkan tulisannya saya muat di blog saya. Tulisannya terinspirasi dari kutipan-penuh-makna tentang keluarga dari para tokoh. sebagian saya mengenal tokoh itu sebagian yang lain saya tidak kenal. Lebih penting dari mengenal atau tidak mengenal tokoh itu, kita bisa mereguk manfaat dari kutipan para tokoh itu. Di antara Anda mungkin telah membina keluarga, baik sebagai suami atau istri, baik sebagai ayah atau ibu. Lebih dari itu semua, bahwa semua orang adalah anak dari orangtuanya, kita semua memiliki keluarga. Selamat membaca.

Saya punya mimpi bahwa suatu saat empat anak kecil saya akan hidup di suatu negara dimana mereka tidak akan dinilai berdasarkan warna kulit mereka, tatapi berdasarkan karakter mereka.
Martin Luther King, Jr.

Di negara tempat King memperjuangkan keadilan, paling tidak sampai tahun 1963, sekolah-sekolah dipisah antara orang kulit putih dan orang kulit hitam. Restoran menolak orang kulit hitam. Kran air minum dan kamar mandi hanya untuk orang kulit putih. Pekerjaan di pabrik baja hanya untuk orang kulit putih. Semua kenaikan jabatan hanya diberikan pada orang kulit putih. Sampai akhirnya datang seruan tentang kedilan dari balik sel penjara Birmingham, dari pena dan hati seorang kulit hitam, Martin Luther King, Jr.

Saat King memperjuangkan keadilan, ia sedang menyuarakan bahwa penilaian seseorang berdasarkan karakter lebih adil secara kemanusiaan daripada dasar penilaian yang lain. Ia meyakini bahwa karakter itu menentukan nasib seseorang di dunia.

Saat ini, di negara tempat King memperjuangkan keadilan, terpilih presiden seorang kulit hitam keturunan Afrika, Barack Obama. Tentang pengaruh orangtuanya, Obama mengatakan, “Orangtua saya memberi andil tidak hanya sebuah cinta yang mustahil, mereka memberi andil sebuah keyakinan yang abadi tentang kemungkinan-kemungkinan atas bangsa ini. Orangtua saya memberi saya nama Afrika, Barack, atau yang dianugerahi, yang meyakini bahwa di negara Amerika yang toleran, nama Anda bukan hambatan bagi Anda untuk meraih sukses.”

Karakter apa yang sudah dan sedang Anda tanamkan pada anak-anak Anda? Karakter apa yang sudah dan sedang Anda tanamkan pada anak-anak Anda yang memungkinkan mereka mengatasi hambatan yang menghadang mereka?

Hari ini, saya akan menanamkan karakter yang kuat pada anak-anak saya. Saya meyakini bahwa inilah bekal yang terbaik bagi anak-anak saya dan ini pulalah andil yang bisa saya berikan pada mereka.

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 22 Februari 2010

Malcolm Gladwell sebagai Model : Berbagi Pengalaman Menulis

Dari beberapa wawancara, Malcolm Gladwell, penulis buku What The Dog Saw dan tiga buku lainnya (The Tipping Point, Blink dan Outliers—ketiga-tiganya best-seller internasional yang mengantarnya sebagai penulis non-fiksi kenamaan), bercerita tentang pengalamannya sebagai penulis. Agar kisah menulisnya mudah diteladani, saya merinci hasil wawancara tersebut (tentu yang mewawancarai orang lain, bukan saya) dalam beberapa kiat. Moga-moga kiat yang saya rinci ini tidak melenceng dari yang sebenarnya ingin disampaikan Gladwell. Saya mencoba memahami bagaimana Gladwell bercerita tentang dirinya, sebagaimana Gladwell membiarkan narasumbernya bercerita padanya. Berikut ini Gladwell berbagi pengalaman tentang menulis. Selamat membaca.

1. Biarkan orang lain bercerita
“Satu hal yang telah saya pelajari dari sepanjang tahun saya di The Washington Post adalah bagaimanakah reportase sosial itu. Reportase sosial benar-benar berbicara kepada orang, mendapati orang-orang bercerita kepada Anda tentang sesuatu. Hal itu akan menjadi cara paling efisien dan berguna untuk menemukan sesuatu yang baru dan menarik. Anda harus menyingkap diri Anda sendiri sebisa Anda seperti beberapa orang yang menarik. Tidak ada jalan pintas untuk jenis proses tersebut.”

2. Menulislah dengan jelas, jernih dan elegan.
“Jika seseorang tidak memahami apa yang Anda tulis, segala yang Anda lakukan itu tidak berguna. Tidak relevan. Jika pembaca yang berpikir dalam dan penuh keingintahuan menemukan bahwa yang saya tulis tidak dapat dicerna mereka, saya telah gagal. Pujian terbesar saya adalah ketika seseorang menemui saya untuk berkata, “putri saya yang berumur 14 tahun atau putra saya yang berumur 12 tahun membaca buku Anda dan mereka menyukainya”. Saya tidak dapat merasakan pujian yang lebih besar dari itu—untuk menulis sesuatu yang orang dewasa merasa puas, tetapi juga yang menjangkau anak usia 13 atau 14 tahun. Itu model saya, dan jika itu model Anda, Anda harus menulis dengan cara yang dapat diterima. Menulis dengan jelas itu universal. Orang berbicara tentang menulis kepada para hadirin, saya kira itu nonsense. Jika Anda menulis dengan suatu cara yang membuat tulisan itu jelas, jernih, dan elegan, tulisan itu akan menjangkau siapapun. Tidak ada ide yang tidak dapat dijelaskan kepada anak usia 14 tahun. Jika anak usia 14 tahun tidak bisa menerimanya, itu kesalahan Anda, bukan kesalahan anak itu. Saya kira itu fakta yang sangat penting.”

3. Keingintahuan yang tinggi: membuat ruwet lalu menyederhanakan kembali.
“Saya seorang yang ingin tahu. Saya diseret pada ide yang penjelasannya banyak yang lebih menarik dan kompleks daripada yang saya kira. Gagasan tersebut mengalir melalui banyak tulisan saya, dan saya selalu tertarik dalam semacam keadaan yang meruwetkan sebelum saya menyederhanakannya lagi. Saya ingin agak membuat hal itu sedikit lebih kompleks hanya karena hal itu menarik dan menyenangkan, dan saya selalu berpikir, kita secara prematur menyederhanakan banyak fenomena yang berbeda. Semacam latihan yang sangat menyenangkan, karena kemudian Anda berurusan dengan semua bidang dimana Anda dapat menggali di sekitar bahan yang sebagian besar orang tidak benar-benar tahu tentang hal itu. Hal itu sangat cocok dengan saya, dan banyak kesenangan bermain detektif yang tidak bisa saya tolak.”

4. Percayalah dengan gagasan sendiri.
“Sebagai penulis, Anda tidak bisa mengontrol –Anda juga tidak ingin mengontrol—bagaimana orang lain menafsirkan hasil kerja Anda. ketika saya melihat seseorang yang membaca tulisan saya dan menggambarkan sesuatu yang sangat berbeda dari perspektif saya, saya kira hal itu benar-benar semacam ketenangan. Maksud saya, kadang-kadang bisa mencemaskan ketika Anda merasa mereka salah menafsirkan dengan buruk, tetapi hanya dengan mengatakan bahwa mereka sedang berpikir dan mereka sedang membawa tafsir mereka untuk berhubungan dengan tulisan saya, dan mereka segera berbeda dari Anda dari waktu ke waktu. Itu adalah bagian dari sesuatu yang sangat bagus tentang mengungkapkan kata pada dunia, dan jika saya khawatir tentang hal itu, saya tidak bisa menjadi penulis.”

5. Bermain-main dengan teori dan fakta—sebelum sampai pada kesimpulan.
“Saya pikir saya akan mendorong orang-orang untuk suka bermain dengan teori dan fakta. Saya ingin mereka akan melihat sesuatu, sejumlah cara yang berbeda dan mempertimbangkan dalam pikiran mereka dan bermain dengannya sebelum mereka menentukan kesimpulan.”

6. Sebagaimana pekerjaan lain, menulis butuh kerja keras.
“Ya, ini sesuatu yang agak menyederhanakan: Anda harus bekerja keras luar biasa untuk menjadi sukses dan hal itu tidak pernah berakhir. Orang berpikir jika Anda adalah penulis sukses, menulis akhirnya datang lebih mudah pada Anda. Faktanya, dalam beberapa hal itu berarti lebih keras. Tidak soal dalam bidang apa Anda berada, Anda perlu membuat yakin bahwa pekerjaan Anda sedang tumbuh dan berkembang. Saya tidak ingin buku baru ini (Outliers) menjadi salinan dari Blink atau The Tipping Point, sehingga saya harus sungguh-sungguh mendorong diri saya sendiri. Saya tidak menghitung, berapa jam yang saya habiskan untuk penelitian atau berapa banyak draft yang saya buat. Jika ada satu kunci bagi kesuksesan saya, itu adalah bahwa sekarang saya bekerja lebih keras daripada yang telah saya lakukan ketika saya berumur 24 tahun.”

7. Menulis sebagai kegiatan otonom.
“Saya tidak pergi ke kantor, saya menulis di rumah. Saya suka menulis pada pagi hari, jika itu mungkin. Itulah ketika pikiran saya dalam keadaan paling segar. Saya mungkin menulis untuk beberapa jam, dan kemudian saya keluar untuk makan siang dan membaca koran. Kemudian saya menulis sedikit lebih lama jika saya bisa, kemudian pergi ke perpustakaan atau menelpon. Setiap hari agak berbeda. Saya bukan seorang yang suka rutinitas, sehingga saya menghabiskan banyak waktu untuk keluyuran di sekitar kota New York dengan laptop di tas, memikirkan dimana saya akan mengakhiri waktu selanjutnya. Itu adalah gaya hidup ideal bagi beberapa orang yang suka menulis.”[]

[+/-] Selengkapnya...