Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Kamis, 25 Maret 2010

Yang Saya Yakini tentang Kaidah 10.000 Jam

Siapa pun Anda, apa pun latar belakang Anda, untuk mencapai keahlian dalam bidang apa pun yang sedang Anda geluti, Anda lebih baik mengetahui tentang cara untuk menjadi ahli. Cara itu bernama kaidah 10.000 jam. Apa itu kaidah 10.000 jam? Kaidah 10.000 jam adalah ini: untuk menjadi ahli dalam bidang apa pun seseorang harus melewati latihan yang dibutuhkan untuk menjadi ahli, yakni minimal 10.000 jam. Saya baru mengetahui bahwa telah banyak penelitian psikologi yang membuktikan kebenarannya setelah saya membaca salah satu bab dalam buku karangan Malcolm Gladwell, Outliers. Dalam bab itu Gladwell mengisahkan perjalanan para genius mayor yakni Mozart, group musik The Beattles, dan Bill Gates. Para genius mayor itu telah melewati latihan selama 10.000 jam sebelum akhirnya mereka menjadi ahli di bidangnya. Penasaran dengan kaidah 10.000 jam, saya browsing di internet dan baru mengetahui bahwa kaidah 10.000 jam telah diyakini kebenarannya oleh para peneliti psikologi setidaknya sejak tahun 1983. Sayangnya, kaidah itu luput dari perhatian saya dan mungkin juga perhatian para dosen saya sehingga selama 5,5 tahun saya kuliah di psikologi saya tidak pernah tahu adanya kaidah 10.000 jam itu—kalau pun dosen saya mengajarkannya pada suatu sesi kuliah mungkin saat itu saya tidak masuk atau kalau pun masuk mungkin saya waktu itu lagi mengantuk.

Bagaimana hitungan 10.000 jam itu? Ini artinya jika kita menjalani bidang yang kita geluti—apa pun bidang yang kita geluti itu—setidaknya 3 jam dalam sehari, maka kita akan benar-benar bisa menjadi profesional setelah melewati jangka 10 tahun dari pertama kali kita menjalani latihan di bidang itu. Terlalu lama? Mungkin tidak. Seorang ahli saraf berkata bahwa memang demikianlah otak kita bekerja: otak kita membutuhkan waktu beberapa lama untuk bisa berkembang optimal.

Karena saya belum semahir Gladwell dalam menuliskan perjalanan orang lain menuju profesional yang konsisten dengan kaidah 10.000 jam, biarlah saya menceritakan perjalanan saya sendiri sejauh mana kaidah 10.000 jam ini berlaku pada saya. Perjalanan ini berkisar tentang pengalaman menulis—kegiatan yang menjadi kegemaran saya selama ini. Karena alasan-alasan tertentu saya tidak bisa melewatkan setiap hari selama 3 jam untuk menulis dan biarlah Anda menilai apakah kaidah 10.000 jam itu berlaku efektif pula pada saya. Saya menuliskan pengalaman ini tidak untuk gagah-gagahan. Ini cara saya berbagi pengalaman dengan Anda dan saya berharap Anda saat ini juga sedang melewati jalan menuju profesional sesuai kaidah 10.000 jam itu—dan nanti, jika ada kesempatan, Anda ceritakan pula perjalanan Anda itu pada saya.

Saya mulai ‘dipaksa’ menulis pada tahun 2000, yakni ketika saya, untuk pertama kali, diminta menuliskan naskah untuk buletin bulanan yang diterbitkan kawan-kawan Pelajar Islam Indonesia (PII). Kesepakatan di sidang redaksi, kami akan menulis bergiliran. Hanya saya diminta menulis lebih dahulu untuk edisi perdana. Saya pun menyanggupinya. Buletin pun terbit untuk pertama kali. Namanya buletin Cahaya Pelajar. Saya pun diam-diam bangga karena tulisan saya tersiar ke sekolah-sekolah di Kota Tegal, dibaca oleh para pelajar dan mungkin beberapa orang guru.

Tidak dinyana, saat bulan kedua mulai menjelang, yang berarti perlu segera menyiapkan naskah buletin untuk edisi berikutnya, kawan-kawan tidak ada yang menyanggupi untuk menulis. Sidang redaksi pun kembali menunjuk saya untuk menulis naskah buletin edisi kedua. Lagi-lagi, saya pun menyanggupinya. Buletin pun terbit kedua kalinya. Begitulah sidang redaksi menjalankan fungsinya: menunjuk saya untuk menulis naskah buletin kembali untuk edisi berikutnya. Sampai edisi keempat, edisi terakhir buletin Cahaya Pelajar, sayalah yang menuliskan naskah buletin itu. Tidak beberapa lama dari penulisan edisi terakhir itu, saya meninggalkan kota kelahiran menuju Yogyakarta untuk menuntut ilmu.

Sebelum berkisah lebih jauh tentang bagaimana saya menjalani pengalaman menulis di kota pelajar itu, saya ungkapkan bahwa dalam psikologi, peran menonjol yang mempengaruhi keterampilan seseorang terus berseteru: bakat vs lingkungan. Ada yang berpendapat kalau bakat berperan dominan menentukan kecakapan seseorang. Pendapat lain mengatakan kalau lingkungan lebih dominan. Saya lebih memilih pendapat yang kedua. Bakat hanya sebagian kecil saja. Lingkunganlah yang mendukung kecakapan kita. Lingkungan juga terkait dengan seberapa banyak waktu yang kita sisihkan untuk mengasah kecakapan kita. Ini adalah soal bagaimana kesempatan dan lingkungan bekerja membentuk keterampilan. Ini adalah soal bagaimana kita meluangkan kesempatan untuk berlatih dan berada dalam lingkungan yang mendukung kita memperoleh kesempatan berlatih terus menerus.

Di Yogyakarta, saya bertemu dalam lingkungan yang menguntungkan. Setidaknya ada dua lingkungan yang mendukung, yakni kota Yogyakarta itu sendiri dan lingkungan tempat saya aktif berorganisasi saat itu, yakni PII. Dalam dua lingkungan itulah saya bisa memiliki banyak kesempatan untuk terus menulis. Bagaimana tidak, Yogyakarta adalah ‘gudang’nya tiga interaksi: buku, penulis dan penerbit. Di kota inilah siapa saja bisa menulis buku dan memungkinkan buku itu diterbitkan. Namun, tingkat kematangan saya dalam menulis belum mengantar saya untuk menulis dan menerbitkan buku. Walau demikian, interaksi saya dengan buku, penulis dan penerbit di kota ini memberikan atmosfer yang mendukung saya untuk terus menulis. Saat itu, dengan dukungan sumber-sumber ide yang berlimpah, saya sedikit banyak menulis artikel untuk media cetak. Namun saya mencatat hanya sekali saja tulisan saya dimuat di salah satu koran lokal, Bernas.

Di PII, saya memperoleh lingkungan yang menghargai karya tulis. Setidaknya, kawan-kawan PII bersedia membaca hasil tulisan siapa pun—siapa yang tidak senang kalau hasil tulisannya dibaca oleh seseorang apalagi banyak orang? Setelah membaca tulisan saya, kawan-kawan pun memberi komentar, masukan dan beberapa diantaranya pujian—siapa yang hatinya tidak melambung saat hasil karyanya dipuji? Di tempat inilah saya memiliki lebih banyak waktu untuk menulis karena saya bisa menggunakan komputer di sekretariat untuk mengolah tulisan-tulisan saya kapan pun saya mau. Biasanya saya menempelkan beberapa lembar tulisan saya pada mading di ruang depan sekretariat. Tulisan itu ditempel begitu saja dengan sebuah push pin. Biasanya kawan-kawan melepas push pin dan membaca tulisan saya lalu menempelkan kembali di mading itu. Sekali-kali saya memeriksa berapa lubang pada lembar tulisan yang ditembus oleh push pin yang berarti minimal sejumlah itulah tulisan saya dibaca oleh kawan-kawan.

Usai kuliah, saya mendapat kesempatan untuk beranjak menuju Jakarta. Di kota ini, setidaknya saya telah memiliki kemampuan yang cukup dalam menulis—dan tulisan saya bisa dihargai. Sehingga, saat ada seorang kawan yang menawarkan saya untuk menjadi kontributor tulisan tentang pendidikan untuk sebuah majalah di sebuah direktorat pada sebuah departemen, saya tidak menyia-nyiakannya. Di kota ini pula, saya berkesempatan menjadi peneliti di sebuah lembaga penelitian yang memungkinkan saya terus menulis—setidaknya karena saya harus membuat beberapa lembar laporan hasil penelitian.

Kisah sekilas saya tentang pengalaman menulis di atas mungkin tidak terlalu lengkap dan detail—suatu saat nanti saya akan ceritakan lebih banyak pada Anda. Kisah saya di atas juga tidak terlalu wah. Banyak penulis-penulis lain yang lebih berdedikasi dalam menulis dan memperoleh pencapaian-pencapaian yang lebih berarti—dan membuat kita berdecak kagum. Namun, bagi saya, pengalaman menulis saya di atas sunguh-sungguh berarti—setidaknya saya makin menyadari bahwa saya sedang melewati masa latihan sekaligus sedang menguji pada diri sendiri bahwa untuk mencapai keahlian dalam menulis seseorang membutuhkan waktu setidaknya 10.000 jam.

Tahun ini, 2010, artinya selang 10 tahun dari pertama kali saya menjalani latihan menulis, saya belum menerbitkan buku apa pun. Kalau saya berasumsi bahwa menerbitkan buku merupakan bentuk pengakuan atas kecakapan saya dalam menulis, ini berarti saya belum benar-benar cakap dalam menulis. Sampai saat ini, artikel-artikel saya belum pernah dipublikasikan di media cetak nasional. Kalau saya berasumsi bahwa dimuatnya artikel di media cetak nasional merupakan bentuk pengakuan atas kecakapan saya dalam menulis, ini berarti saya belum benar-benar cakap dalam menulis. kesimpulannya, saya sudah melewati masa 10 tahun namun saya merasa belum menjadi seorang yang ahli dalam menulis.

Kembali pada kaidah 10.000 jam, saya perlu mengevaluasi bahwa mungkin saya belum benar-benar berlatih menulis sampai 10.000 jam. Saya tidak benar-benar menulis setiap hari, apalagi selama 3 jam sehari. Namun, dengan tetap meyakini kaidah 10.000 jam itu, saya akan tetap terus menulis. Saya merasa terus ada perkembangan dalam kualitas tulisan saya—setidaknya, secara subjektif, menurut saya sendiri. Walau sebenarnya, secara objektif, baik atau tidak baik kualitas tulisan saya, saya tidak terlalu menghiraukannya—saya akan terus menulis. Yang lebih saya hiraukan adalah bahwa kaidah 10.000 jam, yang telah berulang-ulang dibuktikan dalam penelitian psikologi, telah begitu meyakinkan berulang-ulang terbukti dalam kenyataan—pada siapa pun. Saya dan Anda pun bisa membuktikan kaidah itu pada diri kita sendiri, pada kecakapan apa pun yang ingin kita miliki. Sebagaimana kaidah 10.000 jam telah terbukti berlaku pada para genius mayor seperti Mozart, The Beattles, dan Bill Gates dalam bidang mereka masing-masing, kaidah itu juga bisa berlaku pada saya dan juga pada Anda—pada bidang Anda masing-masing. Yang dibutuhkan mungkin ini: kita perlu konsisten dalam berlatih dan terus-menerus terlibat dalam bidang yang sedang kita geluti, sampai kita benar-benar yakin bahwa kita telah melewati latihan setidaknya 10.000 jam. Sebagaimana saya sebut di atas, otak membutuhkan waktu beberapa lama sampai menunjukkan perkembangan optimal. Pada saatnya nanti kita bisa benar-benar meyakini bahwa kaidah 10.000 jam itu sungguh benar adanya—setelah kita menguji kaidah itu pada pada diri kita sendiri dan ternyata terbukti. Semoga.[]

Jakarta, 26 Maret 2010.

2 komentar:

  1. waduh... berarti bakal ada kaidah baru nich..
    kaidah 15.000 jam, kaidah 20.000 jam, atau mungkin lebih??? :D

    BalasHapus
  2. Great. Tp ksuguhan dan intnstas asahan akn dpt mgubah teori mjdi 1.000 jam atau mgkn kurg

    BalasHapus

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.