Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Senin, 03 Mei 2010

Facebook Pitfalls: Menjadi Pemimpin Jempolan atau Tak Mampu Mengendalikan Jempol?

Facebook telah menarik perhatian banyak orang di dunia. Terhitung pada Januari 2010, facebook menjadi situs jejaring sosial tersibuk dengan pengguna sebanyak 350 juta orang—benar nggak sih? Saya dan Anda termasuk beberapa orang di antara mereka yang memiliki akun facebook dan aktif menggunakannya. Kesempatan saya menulis artikel ini dan kesediaan Anda membacanya mungkin salah satu wujud ikutan ketertarikan kita pada facebook: tidak hanya menggunakannya, tetapi membahas hal ikhwal yang berkaitan dengan facebook. Karena, sebagai pengguna facebook, membahas tentang hal ikhwal facebook sebenarnya juga membicarakan tentang diri kita sendiri. Salah satunya adalah ini: apakah facebook punya perangkap (pitfall) yang, namanya juga perangkap, kita tidak tahu berada di mana perangkap itu?

Mendengar kata ‘perangkap’, ingatan saya terbawa pada segala cerita tentang pencarian harta karun. Setelah mengetahui tempat dimana harta karun itu berada, sang pencari harta karun akan mencapainya. Dan, suatu kelimpahan, kemewahan, juga keberuntungan memiliki harta karun tidak diberikan cuma-cuma. Seseorang membutuhkan pengorbanan yang cukup untuk memilikinya. Saat sang pencari harta karun itu melewati sepanjang jalan di mana harta karun berada, kemudian mendekatinya, akan ada banyak perangkap di sana sini. Sang pencari harta karun yang tak lolos dari perangkap mungkin akan pulang dengan nama—dan makin mendorong orang banyak untuk terus mencari harta karun itu. Dan, orang yang mengetahui tentang seluk beluk perangkap itulah biasanya yang akan mendapatkan harta karun itu.

Dalam facebook ada harta karun sekaligus perangkap. Inilah sarana komunikasi yang bisa dinikmati dan dirayakan oleh banyak orang di dunia. Facebook seperti kelimpahan, kemewahan dan keberuntungan manusia abad ke-21 yang diberikan cuma-cuma. Betapa tidak, melalui facebook kita bisa melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan orang di generasi sebelumnya, misalnya, mencolek kawan SD kita dahulu, yang sedang berada di ujung benua yang lain. Namun, facebook sebenarnya hadir di hadapan kita tidak dengan cuma-cuma. Facebook akan menarik ongkos dari kita, misalnya waktu yang kita habiskan untuk menulis status di akun facebook kita, atau pulsa yang kita sisihkan untuk bisa mengaksesnya. Sebagaimana harta karun, facebook juga punya perangkapnya sendiri. Colekan kita di akun facebook orang lain juga punya perangkap: siapa yang kita colek itu dan dengan maksud apa kita mencolek? Mungkin kita tidak tahu akibatnya sampai pacar atau istri atau suami kita cemburu atas colekan yang kita perbuat—dan ternyata itu baru awal dari malapetaka.

Facebook pitfalls, moga-moga ini nama yang tepat—saya mencuri frase ini dari artikel orang. Sebutan ini untuk menggambarkan tentang adanya berbagai perangkap dalam facebook. Beberapa kasus penculikan, pemerkosaan, dan berbagai bentuk kejahatan yang dimulai dari penggunaan facebook di antara korban dan pelaku –yang kerap diberitakan di media massa—adalah gambaran gamblang dari facebook pitfalls ini. Namun, kali ini saya tidak hendak membicarakan tentang perangkap yang gamblang ini, mungkin lain waktu. Saat ini, saya ingin mengajak Anda membahas tentang kemungkinan perangkap yang agak halus. Saya ajak Anda membahas tentang penggunan facebook yang membuat siapa saja yang memiliki akun facebook bisa memilih: menjadi pemimpin jempolan atau jadi seorang yang tak mampu mengendalikan ujung jempolnya?

Ψ

Saya sering melongok jumlah teman yang dimiliki teman saya di akunnya. Setidaknya ini bisa menjadi gambaran saya untuk mengetahui seberapa lama atau seberapa aktif teman saya itu menggunakan facebook. Biasanya saya akan terus melakukannya, melongok jumlah teman pada akun facebook teman-teman saya yang lain. Mungkin gambaran yang saya peroleh tidak terlalu pas, bahwa dengan mengetahui jumlah teman yang dimiliki saya bisa mengetahui seberapa lama dan seberapa aktif dia menggunakan facebook. Yang saya tahu—sebenarnya ini baru saya ketahui—jumlah teman yang dimiliki seseorang, dan juga banyaknya group yang diikuti, menentukan seberapa besar modal sosial (social capital) yang dimilikinya. Ini lebih menarik dikaji daripada sekedar mengetahui sudah berapa lama dan seberapa aktif teman saya di facebook. Kalau toh benar itu menarik, saya kira hanya karena lama dan aktifnya seorang kawan saya di facebook mungkin berpengaruh terhadap akumulasi modal sosial yang dimilikinya. Apa itu modal sosial? dan mengapa memiliki kawan dan group di facebook berhubungan dengan modal sosial yang dimilikinya? Saya kira, penjelasannya nanti akan berhubungan dengan keadaan bahwa menjadi pemimpin berkaitan dengan seberapa besar modal sosial yang dimiliki dan, penjelasan selanjutnya, seberapa besar facebook membuat keadaan itu menjadi niscaya.

Apa itu modal sosial? Beberapa orang mengartikan modal sosial sebagai, “sejumlah sumber, baik nyata atau maya, yang ada pada individu atau kelompok berdasarkan kepemilikan jaringan atas lebih banyak atau lebih sedikitnya hubungan saling kenal”. Dengan kata lain, modal sosial adalah sejumlah sumber yang dapat digunakan oleh seseorang sebagai hasil dari hubungan sosial dengan orang lain. Apa sumber sumber itu? Banyak macamnya, bisa berupa sesuatu yang nyata atau tidak nyata. Bisa berupa bantuan dana untuk usaha kecil dari teman lama; informasi lowongan kerja dari teman kuliah; keterlibatan dalam aktivitas sosial tertentu; sampai dukungan dari teman-teman Anda yang mengkampanyekan Anda menjadi calon pemimpin di tempat kelahiran Anda. Karena inilah, sebagai pengguna facebook, Anda seperti pencari harta karun. Anda dapat memperoleh harta karun yang berharga sebagai hasil interaksi Anda dengan orang lain. Namun, sekali lagi, harta karun yang disediakan facebook sama banyak dengan perangkap yang ada di sekitarnya.

Ψ

Contoh terbaik tentang bagaimana pengguna facebook dapat memperoleh harta karun yang berharga sebagai buah modal sosial yang dimilikinya adalah Barack Obama. Ia mendapat untung dari pertemanan yang dilakukan di facebook saat dirinya berkampanye sebagai calon Presiden Amerika Serikat tahun 2008. Saat ini, Obama mungkin belum bisa disebut pemimpin jempolan, setidaknya karena ia belum merampungkan satu periode penuh kepemimpinannya. Namun, kiprahnya yang belum seberapa itu mampu mengusik para petinggi Komite Nobel untuk sesegera mungkin mengacungkan jempol padanya. Pada 10 Desember 2009, mata dunia tertuju padanya, dan dengan tekun mendengarkan, saat ia berpidato di Oslo, Norwegia, sebagai salah seorang pemenang hadiah Nobel.

Apa yang dilakukan Obama saat itu dengan facebook? Mungkin lebih tepatnya, apa yang dilakukan pendukung Obama di facebook? Partai Demokrat yang mengusungnya membangun basis data melalui internet—artinya tidak hanya melalui facebook saja. Group di facebook dibuat untuk mendukung pencalonannya sebagai presiden AS—jauh-jauh hari sebelum deklarasi pencalonan. Pada awal 2007 saja, ada group Obama berjumlah 500 macam. Seorang mahasiswa universitas Misouri membuat grup pertama kali dengan judul “Sejuta Kekuatan untuk Barack”. Selanjutnya, ia mendapat banyak sumber sebagai hasil pertemanannya: para voluntir dan dana kampanye—modal yang sangat berharga bagi seorang calon presiden.

Apa yang dilakukan Obama dengan facebooknya persis seperti penggambaran Mike Westler tentang facebook: situs jejaring populer yang “cocok untuk sebuah komunikasi yang dimaksudkan untuk mengorganisir dan mengumpulkan sejumlah anggota agar bertindak sesuai tujuan bersama.” Katanya pula, facebook itu “berpotensi memperluas konsep Jurgan Habermas tentang ruang publik yang mengijinkan publik terlibat dalam tindakan politik baik saat kampanye maupun di luar kampanye.”

Beberapa waktu lalu, ketertarikan pada jejaring sosial ini menggoda seorang Hugo Chavez. Menjadi pemimpin jempolan, setidaknya dimata warga dan pengagumnya, mendorong Hugo Chavez membuka akun di twitter. Sebagai orang yang sudah banyak penggemar di dunia, wajar saja jika dalam satu jam pertama sejak ia membuka akunnya, ribuan orang berbondong-bondung menjadi penggemarnya. Dengan kata lain, ia telah memiliki modal sosial yang besar dan fungsi jejaring sosial, dalam hal ini twitter, lebih sebagai upaya untuk menjaga modal sosial yang sudah ada.

Ψ

Kali ini kita akan membahas tentang perangkap itu. Alih-alih menjadi pemimpin jempolan semacam Obama, seseorang bisa berada dalam perangkap facebook yang parah: ia tidak bisa mengendalikan ujung jempolnya. Saat berbagai jenis handphone—ini pengaburan atas kelemahan saya yang tidak mengetahui jenis-jenis handphone dan berbagai gadget yang ada saat ini—memungkinkan seseorang mengakses facebook, pengguna facebook seperti majikan yang tak mau membiarkan anak buahnya menganggur: di segala tempat, dalam waktu kapanpun, ia akan terus menggunakan ujung jempolnya untuk mengetikkan status atau melakukan aktivitas lain di akun facebooknya.

Apakah Anda tergolong sebagai pengguna facebook semacam ini, yang tidak membiarkan ujung jempol Anda menganggur? Kalau ya, Anda perlu hati-hati. Alih-alih Anda menggali lubang untuk mencari harta karun yang terpendam dalam, Anda secara tidak sadar sedang menimbun dalam-dalam tubuh Anda sendiri bahkan sebelum Anda menemukan harta karun yang Anda cari itu. Artinya, alih-alih Anda sedang membangun dan menjaga modal sosial melalui pertemanan yang Anda lakukan di facebook, Anda secara tidak sengaja terperosok pada perangkap facebook. Ya, saat Anda sering menggunakan jari-jari Anda, termasuk jari jempol Anda, saat menggunakan facebook, mungkin Anda sedang diseret-seret untuk masuk pada suatu jerat bernama facebook pitfalls.

Mengapa bisa demikian? Mengapa kita tidak bisa mengendalikan diri kita sendiri, termasuk mengendalikan salah satu jempol kita, saat menggunakan facebook? Salah satu alasan yang mungkin adalah karena facebook itu sendiri semacam seni. “Facebook itu seperti benda estetis”, begitu kata Gaurav Anand. Menggunakan facebook tak ubahnya seperti sedang membuat lukisan abstrak! Karena kita tidak bisa dengan pasti melakukan apa yang kita rencanakan saat kita mulai log in di akun facebook kita. Atau, kita bahkan tidak punya rencana apapun saat kita mulai log in. kita membiarkan interaksi kita dengan facebook mengalir apa adanya. Saat kita mulai log in, kita mungkin akan dikejutkan oleh permintaan pertemanan kawan lama; pesan seorang teman yang ditulis di wall atau inbox; ajakan seorang kawan untuk bergabung di group tertentu; atau ajakan seorang kawan untuk mengisi kuis yang menurut kita menarik. Dan, sebagaimana seniman yang larut dalam pekerjaan seninya, kita pun larut saat menggunakan facebook.

Alasan lain mungkin ini, sebagaimana dikutip dari sebuah artikel: “facebook itu suatu permainan: tujuannya adalah memperoleh banyak teman dan mempengaruhi orang lain.” Kalau ajaran Dale Carnegie di awal abad ke-20 untuk mendapatkan banyak teman dan mempengaruhi orang lain diterima sebagai keajaiban dan kita dengan khusyuk mengikuti sebagaimana tertuang dalam petunjuk-petunjuknya, pada abad sekarang ini, mendapatkan banyak teman dan mempengaruhi orang lain bahkan bisa dilakukan sambil bermain-main. Ya, berteman sambil bermain atau bermain sambil berteman—mengingatkan kita saat kecil dahulu, sungguh aktivitas yang menyenangkan! Selain itu, tentu saja, karena dalam facebook sendiri terdapat aplikasi yang menyediakan banyak permainan yang bisa kita pilih dan nikmati sesuai selera.

Dan, sebagaimana terdapat dalam jenis permainan apapun, di dalam facebook terdapat kesenangan. Menggunakan facebook seperti cara kita mengingatkan sifat dasar kita sendiri sebagai manusia: manusia pada dasarnya bertindak demi memenuhi kesenangannya sendiri (pleasure principle). Untuk urusaan kesenangan, tidak jarang kita kehilangan kendali atas diri kita, termasuk tidak bisa mengendalikan salah satu alat tubuh paling vital dalam hidup kita saat ini: jempol!

Berharap dimudahkan jalan untuk menjadi pemimpin macam Obama? Mungkin facebook terlalu berat untuk membesarkan nama kita. Atau nama kita terlalu ringan sehingga tidak memungkinkan bagi facebook untuk mengangkat nama kita. Namun alasan yang lebih tepat mungkin ini: kita tidak benar-benar menggunakan facebook untuk menjembatani, mengikat dan menjaga modal sosial yang kita miliki. Ada tujuan-tujuan lain yang lebih bersifat pemenuhan atas kebutuhan kesenangan kita sampai-sampai kita tidak bisa mengendalikan jempol kita. Jika mengendalikan seujung jempol kita sendiri saja tidak bisa, kita tidak akan bisa menggunakan jari telunjuk untuk memerintah orang lain.

Ψ

Kembali pada pertanyaan di atas, mana yang kita pilih: menjadi pemimpin jempolan atau jadi seorang yang tak mampu mengendalikan ujung jempolnya? Tentu jawabannya kembali pada diri kita, mau mendapatkan harta karun atau masuk ke dalam perangkap di sekitarnya. Mustahil mendapatkan harta karun tanpa melewati jalan yang penuh perangkap, sebagaimana mustahil mendapatkan sumber-sumber kekayaan (apapun) dari jejaring yang kita miliki tanpa mau mengajak atau menerima ajakan seseorang untuk berteman.

Di abad ke-21 ini, mengunakan facebook seperti perburuan mendapatkan harta karun. Segala kisah perburuan harta karun mengajarkan kita bahwa orang yang mampu mendapatkan harta karun adalah mereka yang mampu membaca peta, mau melangkah dan mawas diri dalam mengadapi segala perangkap yang mungkin menghampiri. selamat berburu![]

1 komentar:

  1. artikel yang bagus nih boss, layak untuk d pertimbangkan. trimakasih sudah menyadarkan saya apa itu facebook......

    BalasHapus

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.