Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Minggu, 03 Oktober 2010

Apa yang Dibincangkan: Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Situs Jejaring Sosial tentang Komunikasi Laki-laki dan Perempuan


"Eh lu, gak usah ikut campur gendut, kaya tante-tante, gak bisa gaya, norak lu...". Maaf, saya tidak sedang mengata-ngatai Anda. Kalimat ini saya kutip dari akun facebook milik Melati (bukan nama sebenarnya) yang ditulis di dinding facebook milik Mawar (juga bukan nama sebenarnya). Keduanya terlibat adu cemburu. Melati dan Mawar berselisih. Mawar mengadukan penghinaan yang dilakukan Melati pada dirinya ke pengadilan. Facebook jadi perantara yang memudahkan mereka berselisih yang juga berarti menjadi perantara mereka berurusan di pengadilan. Pihak yang lebih banyak menanggung akibat buruk dari urusan itu tentu Melati.

Pada selasa siang, 16 Februari 2010, Melati terlihat tenang di ruang Pengadilan Negeri Bogor. Dia sedang menunggu hakim membacakan vonis untuknya. Satu-satunya hakim yang memimpin sidang membacakan, "Melati bersalah melakukan tindak pidana memfitnah. Dan karena itu saya menjatuhkan vonis 2 bulan dan 15 hari penjara. Tapi hakim memerintahkan dia untuk tidak menjalaninya. Terkecuali terpidana terkena perkara lain dalam masa lima bulan, maka hakim akan memerintahkan dia untuk menjalani hukuman tersebut". Melati masih beruntung karena saat vonis dibacakan, dia masih belum cukup umur untuk menanggung derita di balik jeruji penjara. Apakah urusannya dengan pengadilan membuat Melati mengubah sikapnya terhadap Facebook? Ternyata tidak. Pada hari persidangan, saat ditanya tentang kebiasaannya menggunakan Facebook, Melati menjawab, "Biasa saja, tidak ada trauma. Sampai sekarang saya masih menggunakan Facebook". Perubahan sikapnya mungkin ini, ”ke depan saya tidak mau mengomentari Facebook orang lain”.

Saya mengajak Anda berbincang tentang Luna Maya. Tapi kali ini bukan tentang videonya yang menghebohkan itu. Jauh sebelum beredar video hebohnya, masyarakat, utamanya para ‘wartawan’ infotainment, dihebohkan oleh statusnya di sebuah situs jejaring sosial, Twitter. Pada Rabu dini hari, 16 Desember 2009, Luna menulis, “Infotainment derajatnya lebh HINA dr pd PELACUR,PEMBUNUH!!!!may ur soul burn in hell!!” Setelah dikasak-kusuk, Luna menulis status tersebut karena kejengkelannya akibat suatu peristiwa pada malam harinya. Pada Selasa malam, saat dia menonton film di sebuah bioskop di Jakarta, kamera ‘wartawan’ menyenggol seorang anak kekasihnya yang sedang dalam gendongannya. Kalau kamera ‘wartawan’ bisa bersenggolan dengan narasumber berita, soal apalagi kalau bukan urusan mengasak-ngusuk berita. Seorang ‘wartawan’ infotainment yang waktu itu sedang berada di lokasi kejadian membela diri, “Sebenarnya yang menyenggol itu bukan kameramen, tapi yang mendekati kamera adalah Luna sendiri. Kita juga tidak mengerumuni dia seperti lalat, kita sebelumnya juga sudah bertanya baik-baik pada dia untuk meminta wawancara.” Setelah statusnya yang bernada menghina itu ditulis, tanggapan datang dari berbagai penjuru. Luna seperti melempar bola panas. Siapa saja yang membaca statusnya bisa merasa kepanasan dibuatnya. Luna mendapat banyak dukungan sekaligus kritik pedas. Tidak lama kemudian, Luna menutup akun Twitternya.

Apa yang bisa kita simpulkan pada kedua kasus di atas? Apakah perempuan lebih sering terseret dalam masalah saat berurusan dengan situs jejaring sosial? Wah, laki-laki juga punya banyak masalah akibat penggunaan Facebook atau Twitter. Apakah jejaring sosial lebih cocok bagi perempuan sampai akhirnya menyeret mereka dalam masalah yang tidak pernah mereka duga sebelumnya? Mungkin.

Sebuah survey menyimpulkan bahwa dibandingkan dengan laki-laki, perempuan lebih cenderung mengalami kecanduan dengan Facebook. Lightspeed Research melakukan survey terhadap 1.605 pengguna Facebook di Amerika Serikat. Hasil survey menunjukkan bahwa warga Amerika Serikat semakin banyak yang terobsesi dengan Facebook, terlebih-lebih perempuan. Lightspeed Research mencatat, perempuan merupakan kelompok yang paling sering mengakses Facebook. Sebanyak 34 persen perempuan berusia 18 hingga 34 tahun yang disurvey mengakui bahwa aktivitas pertama yang mereka lakukan saat bangun pagi adalah mengecek akun Facebook. Tidak hanya pagi hari saja, malam hari juga mereka gunakan untuk mengakses Facebook. Sebanyak 20 persen perempuan yang disurvey larut dalam berjejaring sosial di Facebook pada malam hari sebelum mereka larut dalam tidur. Sedemikian kecanduannya pada Facebook, sebanyak 26 persen perempuan sering terbangun di malam hari hanya sekedar membaca pesan yang mereka terima di Facebook!

Menulis status, mengirim dan membalas pesan, memberi komentar pada status atau dinding teman di situs jejaring sosial, adalah aktivitas yang melibatkan kata-kata. Saat kita menulis status, mengirim dan membalas pesan, memberi komentar pada status atau dinding teman, kita sedang berbicara pada orang lain. Kita sedang berbicara dalam bahasa tulis. Dari hasil survey di atas, perempuan lebih sering mengakses Facebook dibandingkan laki-laki. Pertanyaannya, apa hal ini karena perempuan lebih banyak berbicara? Apakah karena perempuan lebih suka bicara dibanding laki-laki, yang dari kesukaannya berbicara ini memungkinkan perempuan mengungkapkan isi kepalanya di status akun miliknya atau di dinding orang lain atau berkomentar atas status orang lain?

Saya belum tahu apakah sudah ada hasil penelitian tentang hubungan antara banyaknya seseorang berbicara dengan banyaknya orang tersebut menuangkan bahasa tulis di Facebook. Penelitian yang sudah ada menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat keterbukaan (openness to experience) yang tinggi lebih cenderung melakukan aktivitas yang bersifat sosial di Facebook, seperti memberi komentar di dinding teman, mengirim ke dinding teman, maupun menulis pesan pribadi—aktivitas yang banyak menggunakan bahasa tulis dalam berhubungan dengan orang.

Untuk persoalan komunikasi laki-laki dan perempuan, lebih tepat kiranya jika kita bertanya pada John Gray, penulis buku Men Are From Mars, Women Are From Venus. “Bila sedang mengalami ketegangan jiwa, secara naluri perempuan merasa perlu membicarakan perasaan-perasaannya dan segala masalah yang mungkin berkaitan dengan perasaan-perasaannya itu,” begitu kata John Gray. “Bila ia marah, ia marah mengenai segala sesuatunya, yang besar dan yang kecil. Ia tidak langsung ingin memecahkan kesulitan-kesulitannya, melainkan mencari kelegaan dengan mengungkapkan dirinya dan ingin dimengerti,” begitu lanjut John Gray.

Bersenggolan dengan kamera mungkin masalah kecil bagi sebagian orang. Tapi, sekecil-kecilnya masalah kecil tidak bisa mengecilkan kemarahan Luna karena bersenggolan dengan kamera. Sesungguhnya, lebih karena pemegang kameranya, ya ‘wartawan’ infotainment itu tadi, masalah kecil ini menjadi besar bagi Luna. Atau, bersenggolan dengan kamera merupakan peluang bagi Luna untuk mengungkapkan kepada banyak orang, terutama ‘wartawan’ infotainment, agar mereka bisa memahami perasaannya. Twitter menjadi sarana yang memungkinkan bagi Luna agar orang yang seharusnya memahami dirinya mau mendengar kicauannya. Dan dia melakukannya.

Sementara, terhadap perseteruan Luna dengan ‘wartawan’ infotainment ini, seseorang berkomentar di sebuah blog, “saya prihatin, masalah kecil kok dibesar-besarkan”. Tapi, masalah kecil tidak bisa dianggap remeh, terutama jika kita bisa mendapat banyak pelajaran dari masalah kecil itu.

Persoalan yang dianggap kecil ini sebenarnya dapat dirunut pada dinamika komunikasi laki-laki dan perempuan. Masalah komunikasi tentu sudah menjadi persoalan banyak orang di banyak tempat. “Kaum laki-laki masuk gua, kaum perempuan berbicara,” begitu John Gray membedakan dinamika komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki cenderung menyelesaikan persoalan mereka sendirian, sedangkan kaum perempuan cenderung membicarakan persoalan-persoalannya kepada orang lain. Bagaimana laki-laki menyelesaikan masalahnya? “Bila mengalami ketegangan, laki-laki akan menarik diri ke goa pikirannya dan memusatkan perhatiannya untuk memecahkan persoalan. Biasanya ia akan memilih persoalan yang paling mendesak atau yang paling sulit. Perhatiannya jadi begitu terpusat pada pemecahan masalah itu, sehingga untuk sementara ia kehilangan kesadarannya tentang hal-hal lain,” begitu kata John Gray. “Bila tidak dapat menemukan pemecahan, ia melakukan sesuatu untuk melupakan kesulitan-kesulitannya, seperti membaca surat kabar atau melakukan permainan,” lanjutnya.

Pada sisi lain, bagaimana perempuan menyelesaikan persoalannya? “Dengan membicarakan segala persoalan tanpa memusatkan perhatian pada pemecahan masalah, perempuan merasa lebih baik. Dengan menjajagi perasaan-perasaannya dalam proses ini, ia memperoleh kesadaran yang lebih besar mengenai apa yang sesungguhnya merisaukan hati, dan kemudian tiba-tiba ia tidak lagi terbebani” ungkap John Gray. “Bila perempuan sedang kewalahan, ia menemukan keringanan dengan berbicara secara mendetail mengenai segala macam kesulitannya. Lambat laun, bila merasa didengarkan, ketegangan jiwanya lenyap. Setelah berbicara mengenai salah satu topik, ia akan berhenti sejenak, kemudian melanjutkan ke topik berikutnya,” begitu ulas John Gray.

Pendapat John Gray di atas menyiratkan bahwa perempuan lebih banyak bicara dibandingkan laki-laki. Untuk sementara kita bisa mengasumsikan bahwa perempuan lebih banyak menggunakan Facebook atau situs jejaring sosial yang lain untuk mengungkapkan berbagai persoalannya. Mungkin yang diungkapkan melalui situs jejaring sosial bisa membuat perempuan merasa ringan dalam menghadapi persoalannya. Namun, ada juga, alih-alih merasa lega atas persoalannya, orang seperti Luna dibuat kewalahan atas ucapan yang ditulisnya. Yang dilakukannya merupakan konsekuensi atas kecenderungan perempuan dalam menyelesaikan masalah: banyak-banyak membicarakan masalah itu walau tidak menyelesaikan masalah secara langsung. Yang dibutuhkan perempuan hanyalah perasaan lega ketika membicarakan masalahnya. Namun, sungguhkah perempuan lebih suka berbicara dibandingkan laki-laki?

Penelitian Matthias R. Mehl bersama kolega-koleganya membuat kita untuk sementara menahan pendapat John Gray. Mehl menyimpulkan bahwa perempuan tidak lebih suka berbicara daripada laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya rata-rata berbicara dalam jumlah kata yang sama setiap hari.

Untuk merekam kata-kata yang digunakan subjek, peneliti menggunakan suatu alat yang disebut Electronically Activated Recorder (EAR). Jika Anda ingin tahu apa saja yang dibicarakan pasangan Anda sepanjang hari selain waktu tidurnya, alat ini sangat Anda butuhkan. EAR adalah perekam suara digital yang bisa menelusuri interaksi dari suatu peristiwa ke peristiwa yang lain di dunia nyata. EAR dapat digunakan untuk melakukan penelusuran secara alami atas kata-kata yang diucapkan dan menaksir berapa banyak laki-laki dan perempuan menggunakan kata-kata setelah lewat satu hari.

Penelitian dilakukan melalui enam kali pengambilan sampel dengan melibatkan 396 peserta yang terdiri atas 210 perempuan dan 186 laki-laki. Penelitian diadakan dari tahun 1998 sampai 2004. Lima sampel terdiri dari mahasiswa-mahasiswa di Amerika Serikat dan satu sampel terdiri dari mahasiswa-mahasiswa di Meksiko. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa perempuan berbicara rata-rata 16.215 kata dan laki-laki rata-rata berbicara dalam 15.669 kata perhari. Data yang diperoleh gagal memunculkan pengaruh perbedaan jenis kelamin dalam penggunaan kata sehari-hari. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya menggunakan rata-rata 16.000 kata perhari. Mehl dan kolega-koleganya menyimpulkan bahwa stereotipe yang tersebar dan terpublikasi luas bahwa perempuan lebih banyak berbicara tidak ditemukan dalam penelitian mereka.

Dari hasil penelitian Mehl dan kolega-koleganya di atas, kita harus menahan asumsi bahwa seringnya perempuan menggunakan facebook daripada laki-laki karena kesukaan perempuan dalam berbicara. Gray pun perlu mengingat ungkapannya bahwa dia telah “membuat banyak generalisasi mengenai kaum laki-laki dan perempuan”. Mungkin persoalannya bukan siapa yang paling suka berbicara, karena laki-laki dan perempuan sama-sama suka berbicara. Persoalannya mungkin bersumber dari sesuatu di luar kesukaan perempuan berbicara. Mungkin yang membuat perempuan banyak menghabiskan waktu di facebook bukan karena perempuan lebih sering menulis status, mengirim dan membalas pesan, memberi komentar pada status atau dinding teman di facebook, dan berbagai aktivitas lain sebagai cara perempuan berbicara dengan bahasa tulis. Aktivitas bersama facebook yang tidak berhubungan dengan berbicara dengan bahasa tulis diantaranya mungkin meng-upload foto dirinya di facebook.

Memang itulah hasil penelitian Tiffany A. Pempek dan kolega koleganya. Hasil penelitian Pempek menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mem-posting foto di facebook. Perempuan juga lebih banyak mendapat tag foto dari temannya daripada laki-laki. Perempuan juga lebih banyak menghapus nama dirinya yang di-tag di suatu foto. Alasan umum mengapa perempuan menghapus namanya di suatu foto adalah karena ketidaksukaannya atas penampilan dirinya di foto tersebut.

Persoalannya bukan siapa yang banyak bicara, tetapi apa yang dibincangkan oleh laki-laki dan perempuan? Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam caranya menggunakan bahasa. Dengan kata lain, ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menentukan apa yang dianggap penting bagi mereka untuk dibincangkan.

Matthew L. Newman, pengajar di Departmen Ilmu Sosial dan Perilaku Universitas Arizona, bersama kolega-koleganya menganalisa lebih dari 14.000 arsip tertulis dari 70 penelitian terpisah. Newman dan kolega-koleganya menyimpulkan bahwa perempuan menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan proses psikologis dan sosial. Sementara, laki-laki lebih sering menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan kepemilikan suatu benda dan topik-topik yang tidak berkaitan dengan orang tertentu.

Pada penelitian Newman ini, perempuan menyumbang 8.353 arsip tertulis. Hasil analisanya terhadap arsip tertulis tersebut menunjukkan bahwa perempuan cenderung mendiskusikan seseorang dan apa yang mereka lakukan. Perempuan juga suka mengkomunikasikan proses internal mereka pada orang lain, termasuk keraguan-keraguannya. Kata-kata yang berhubungan dengan pikiran, emosi, perasaan, orang lain, penyangkalan, kata kerja sekarang dan kata kerja lampau, lebih sering digunakan oleh perempuan daripada laki-laki.

Sedang pada laki-laki, yang mengumbangkan 5.970 arsip tertulis dalam penelitian ini, bahasa lebih cenderung dipakai untuk menyebut nama-nama atas peristiwa eksternal, benda-benda, dan proses-proses. Sembari berdiskusi tentang jabatan, uang dan olah raga, laki-laki menggunakan bahasa teknis seperti angka-angka, artikel (yang dalam bahasa Inggris berarti the, a, dan an), kata depan, dan kata-kata panjang. Kata-kata yang mengandung sumpah juga banyak digunakan oleh laki-laki.

Laki-laki dan perempuan tidak menunjukkan perbedaan dalam penggunaan kata-kata terkait seksualitas, kemarahan, waktu, penggunaan kata orang-pertama jamak, jumlah kata dan tanda tanya yang digunakan, dan kata-kata eksklusi yang disisipkan (seperti ‘tetapi’, ‘meskipun’ dan sebagainya).

Jadi, merujuk penelitian Newman di atas, perempuan akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk membicarakan pikiran, emosi dan perasaannya sendiri, juga pikiran, emosi, dan perasaannya terhadap orang lain, untuk ditulis di status Facebooknya. Mungkin juga berkaitan dengan kejengkelannya pada seseorang, kebimbangannya dalam memutuskan sesuatu, dan tanggapannya terhadap sikap orang lain. Jadi, sikap Melati yang mengatakan bahwa, ”ke depan saya tidak mau mengomentari Facebook orang lain” mungkin membutuhkan upaya besar menolak kecenderungan untuk membincangkan pikiran, emosi, dan perasaannya sendiri dan membincangkan orang lain.

Sedangkan laki-laki, mereka mungkin akan menuliskan statusnya yang berhubungan dengan karya atau pekerjaan mereka, kota yang sedang dikunjungi, peristiwa terkini, barang yang ingin dimiliki atau baru saja dimiliki, pertandingan sepakbola yang baru ditonton, dan apa saja yang tidak berhubungan dengan membincangkan seseorang secara khusus.

Tampaknya, jika Anda diminta oleh teman Anda untuk menebak jenis kelamin seorang pengguna Facebook atau Twitter yang tidak Anda kenal sebelumnya, yang menulis apapun mengenai orang lain, baik itu bernada memuji atau menghina, saya menyarankan Anda untuk menjawab bahwa pengguna situs jejaring sosial itu berjenis kelamin perempuan. Ini bukan mengenai meninggikan status jenis kelamin tertentu dan merendahkan yang lain. Ini menyangkut kemungkinan Anda menjawab dengan benar atas tebakan yang diajukan teman Anda itu. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.