The True Power of Water atawa Banjir
Pada mulanya adalah rahmat. Peristiwa pada hari itu (Jum’at, 1/2), makin menambah yakin bahwa Jum’at adalah hari yang terlalu akrab dengan perihal musibah. Titik air hujan di hari Jum’at serupa rahmat yang nyaris terlupa.
Hujan yang berlangsung sepanjang hari itu mampu mengumpul curahan airnya, tidak hanya di sepanjang aliran sungai, selokan, rawa-rawa atau ceruk danau, tapi juga di sepanjang jalan raya, trotoar, halaman rumah, lantai keramik dan jok-jok mobil. Hujan yang terus menerus mampu menyulap keteduhan—sebagaimana hujan pertama di musim kemarau- jadi kegundahan yang membikin panik. Dalam beberapa situasi mampu membuat orang tidak berkutik. Hujan mengguyur penghuni Jakarta sampai basah kuyup oleh kegalauan.
Air tidak selamanya memiliki takaran yang bersahabat dengan manusia. Kadang air berkurang (yang jika itu berada dalam tubuh akan menumbulkan dehidrasi), kekadangan yang lain, air berlebih: lalu timbul banjir. Sebenarnya bukan berlebih, tapi karena tiada tempat yang mempunyai daya untuk menciptakan kelangkaan.
Ternyata, disamping manusia mengatur air, air juga mampu mengatur manusia. Ternyata pula, air memiliki hubungan resiprokal yang tanggap terhadap respon dari (yang selama ini jadi) tuannya. Ada sebab-sebab yang membawa kemungkinan air berkumpul, menghalau, memusnahkan, dan terus menerus meneror dengan penuh rasa yang harap-harap galau. Ada sebab-sebab yang mendaulat air agar berlaku (seakan-akan) lebih pintar dari manusia. Makin sulit manusia mengatasi kumpulan air itu, makin memperjelas daya kemampuan manusia yang sungguh tidak lebih kuasa dari air yang menyatu.
Tidak ada people power. Untuk masyarakat yang masih berdamai dengan demokrasi, kekacauan akibat manusia yang berkumpul tabu terjadi. Kekacauan ini lebih bersumber pada keengganan manusia untuk berembug: mengurai penyebab banjir, membenahi penyebabnya, dan antisipasi aktif untuk menanggulangi. Kekacauan yang terjadi saat itu disebabkan oleh water power yang kemunculannya tidak disetir oleh kepentingan. Yang lebih tepat mungkin ini: manusia dengan dengan kepentingan diri sendiri yang melena, terlupa bahwa hujan –dengan segala rahmat yang terkandungnya- adalah peristiwa alam yang teramat penting. Lebih penting dari sekedar (orang nomor satu RI) tepat waktu menghadiri sekaligus memimpin sidang kabinet paripurna membahas APBN 2008. Lebih penting dari sekedar (orang nomor satu RI) berada di atas Mercedes Benz tanpa harus berpindah mobil karena terjebak banjir di Jl Thamrin. Lebih penting dari sekedar naik pesawat tanpa delay akibat bandara tergenang. Lebih penting dari sekedar melewati sepanjang jalan di Jakarta tanpa macet, juga tanpa air yang membasahi mesin dan jok mobil—yang berarti membasahi sekujur kaki dan pinggang.
Anggapan bahwa hujan bukan sebuah peristiwa penting bisa bermula dari ketidakpentingan air. Kapan air itu dianggap penting? Mungkin bila sudah tidak ada lagi hujan—yang berarti berakhirnya siklus air. Akhir dari sebuah siklus air berarti berakhirnya kehidupan itu sendiri. Akhir dari kehidupan, termasuk juga kehidupan manusia, berarti berakhirnya segala rupa anggapan, termasuk anggapan yang mengatakan bahwa sesuatu itu penting. Air memiliki siklus yang abstrak dan tidak terlalu menarik disimak oleh beragam manusia dengan keawamannya.
Saat ini, air dari deras hujan masih menyimpan kekuatan yang menimbulkan rasa takut. Tiap kali hujan akan timbul rasa cemas. Tiap kali angin mengantar rintik keras membentur atap, tiap kali itu pula rasa was-was membentur-bentur dada. Bagi kalangan yang terbersit sedikit tanggung jawab, rintik hujan membangunkan dari diam panjang. Mungkinkah bisa sampai tergerak untuk segera berbenah, lalu berburu-buru, seakan ada tugas yang belum selesai tertuntaskan? Pilkada Jakarta baru empat bulan kemarin, dan sayangnya, hujan tidak tahu menahu apakah pemerintah sudah siap dengan program penanggulangan banjir.
Menteng Raya, 3 Februari 2008
dari orang udik yang ingin merasakan suka-duka jadi orang Jakarta, include dengan banjirnya.
Konsultasi Syariah Islam (KSI)
11 tahun yang lalu