Demonstrasi Pelajar :
‘Mata Pelajaran’ Dibalik UN
Penerapan Ujian Nasional (UN) atau yang sejenisnya, telah berulang kali jadi kebijakan Pendidikan Nasional di negeri ini. Tiap akhir tahun ajaran, segenap perangkat sekolah di negeri ini punya hajatan bersama yang dinamakan UN. Ritual pun dijalani pelajar sebagai tradisi yang maklum: mempersiapkan UN dengan berkutat diktat dan ribuan soal.
Kebiasaan olah kognisi dilakukan bersamaan dengan tekanan yang mengancam nasibnya, kalau-kalau nilai yang didapat tidak sesuai standar minimal kelulusan. Sebagai sebuah kebiasaan (habitus) yang dilakukan berulang-ulang, negeri ini telah merancang, meminjam adagium Emerson, karakter (caracter) sekaligus nasib (destiny) yang secara sistemik akan menggelayuti masa depan generasi muda nantinya.
Namun, dari berserak pelajar yang sedang menunggu giliran merasai tragedi UN ini, ada secuil di antara mereka yang berani menggugat nasibnya sendiri—sudah berlangsung lama bahwa dalam sistem pendidikan kita, pelajar terpaksa mengurusi nasibnya sendiri. Stakeholder yang punya andil besar memoles warna pendidikan di negeri ini seperti ibu yang tak acuh terhadap masa depan pelajar sebagai anaknya. Pelajar mengorganisir diri dengan menggelar demonstrasi. Mereka menampilkan kepedulian atas nasib diri dan kaumnya dengan melantangkan pekik: menolak UN!
Sekitar 2000 pelajar berhimpun di depan kantor DPRK Bireuen. Mereka berjalan kali dengan mengusung spanduk bertuliskan ‘Hapus UN’. Dalam pernyataanya di depan anggota dewan DPRK Bireuen, pelajar menuntut agar kelulusan tidak ditentukan oleh UN, tapi oleh sekolah masing-masing dan pendidik. Juga, mereka mengungkapkan bahwa UN sangat memberatkan siswa apalagi nilai kelulusan menjadi 5,25 dengan enam mata pelajaran yang diujikan (Serambi Indonesia, 21/11/2007).
Demonstrasi, bagi bagi segmen masyarakat manapun, adalah pilihan wajar di era demokratisasi sekarang. Demonstrasi, walau dilakukan oleh pelajar, akan tetap bergema suaranya. Negeri ini sedang menderas demokratisasi, sehingga aspirasi tidak lagi kedap suara. Dengan berdemonstrasi, mereka sedang menjalani laku orang dewasa dengan aspirasi yang layak didengar oleh orang yang usianya jauh di atas mereka.
Labih dari itu, demonstrasi yang dilakukan pelajar perlu ditatap sebagai sebuah metode belajar yang menyegarkan. Demonstrasi pelajar merupakan ‘mata pelajaran’ baru yang bisa dipelajari dibalik UN. Tidak sebagaimana UN yang menekankan dimensi kognitif semata, demonstrasi pelajar menyentuh ranah pendidikan yang makin memperkokoh kepribadiannya sebagai bagian dari masyarakat terdidik. Demonstrasi bukan sekedar ‘mata pelajaran’ biasa. Demonstrasi adalah khasanah pendidikan yang tersembul dibalik gencarnya pemberlakuan UN. Berikut ini bahan pelajaran dari demonstrasi pelajar itu.
Pertama, demonstrasi mengajarkan sikap kritis. Pelajar tidak sekedar tunduk pada kebijakan elite pendidikan—apalagi jika kebijakan itu secara kasat mata nyata salahnya. Pelajar diajak belajar menilai baik atau buruk sebuah kebijakan, sekaligus mendorong mereka mempelajari dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan itu. Pelajar melakukan refleksi kritis saat menyadari bahwa mereka merasa berat dengan adanya UN. Adanya penambahan mata pelajaran yang di-UN-kan berkorelasi dengan bertambahnya beban kognitif pelajar. Indikasi sikap kritis muncul saat mereka menyadari atas keadaan yang menimpa dirinya, saat ini atau nanti.
Daya kritis tidak berhenti pada kesadaran. Daya kritis muncul dalam sikap dan praksis tindakan. Kesadaran kritis pelajar terejawantah dalam respon mereka atas perilaku elite yang cenderung tidak berpihak pada pelajar. Demonstrasi merupakan praksis murni atas sikap kritis yang dibangun di atas perilaku politik elite yang cenderung sewenang-wenang.
Kedua, respon penolakan pelajar atas penerapan UN merupakan wujud kepekaan sosial mereka. Pelajar tidak sekedar diam berpangku tangan atas tragedi yang terberi (given) berupa penerapan UN oleh elite penentu kebijakan pendidikan. Juga bukan hanya merajinkan diri bergladi bersih mempersiapkan UN. Mereka turut ambil bagian dalam penolakan ‘hukum vonis mati’ kesempatan belajar oleh adanya UN. Mereka bersuara, yang sekaligus mendeklarisir bahwa mereka ada dan keberadaannya terparahkan oleh eksistensinya sebagai pelengkap penderita kebijakan pendidikan. Demo menolak UN merupakan wujud sikap empatik atas mendung hitam yang menyelimuti nasib pelajar—bersamaan dengan nihilnya stakeholder pendidikan yang peduli dengan nasibnya.
Ketiga, demonstrasi pelajar mengisi relung kosong peran pendidikan formal yang tidak mengajarkan pelajar mengenali dirinya sendiri. Pendidikan di sekolah umumnya bersifat impersonal. Pendidik di sekolah hanya mengantar pelajar memperoleh prestasi kognitif yang tinggi. Pendidik kurang memberi bimbingan afektif mengenai perkembangan kepribadiannya. Untuk menutupi kekurangan itu, Mochtar Buchori (2001) menyarankan agar pelajar diberi kesempatan mempraktekkan ‘personalized education’. Pendidikan yang memungkinkan pelajar mampu mengenali hidupnya sendiri ini bisa efekif diterapkan pada institusi pendidikan informal ataupun nonformal. Demonstrasi merupakan ikhtiar belajar informal yang tidak diajarkan di sekolah. Para pelajar yang mengorganisir diri dalam demonstrasi sedang menggelar sendiri pencarian makna dirinya dengan kehidupannya. Penolakan terhadap UN adalah sanggahan keras bagi institusi pendidikan. Pelajar seperti berujar bahwa bukan UN yang dibutuhkan oleh dirinya dalam mengarungi hidup nantinya. UN bukan modal yang cukup berarti untuk menapaki hidup!
Keempat, demonstrasi pelajar mengajarkan tentang demokratisasi itu sendiri. Demokratisasi membawa gerbong yang sarat kepentingan untuk berbaur di alam demokratis. Masih sekedar idealitas bahwa demokrasi tidak memberi ruang bagi tumbuhnya tirani, walau dalam bentuk yang semu. Penyelenggaraan UN merupakan gejala kecil munculnya embrio tirani yang ditiup oleh pemegang kebijakan. Wujud nyata menyelamatkan demokrasi adalah dengan menggunakan aparatus demokrasi pula untuk menyanggahnya. Dengan jalan demonstrasi, pelajar sedang mengingatkan semua komponen bangsa bahwa penerapan UN yang mengabaikan aspirasi para pelaku utama pendidikan (guru dan murid) adalah penghalang bagi tumbuh pesatnya demokrasi di negeri ini. §
Jl Ahmad Dahlan no 1 Banda Aceh,
29 November 2007
Konsultasi Syariah Islam (KSI)
11 tahun yang lalu