Memimpin dengan Praksis
Sejak tahun 2004, yakni terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, masyarakat Indonesia memilih pemimpinnya secara langsung. Sejak itu pula panggung politik di daerah-daerah dipimpin oleh figur-figur terpilih yang dikehendaki mayoritas rakyatnya. Namun, adakah ekses positif yang terasakan dari performance pemimpin pilihan rakyat tersebut?
Akhir-akhir ini bermunculan banyak figur yang, entah dengan terus terang maupun tersirat, mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Alih-alih turut menyambut gempita demokrasi, kehadiran mereka justru menambah sesak denyut jantung kehidupan masyarakat.
Pemimipin yang dipilih secara langsung seharusnya justru mampu menampilkan wujud dirinya sebagai wakil yang dipilih seluruh rakyat. Pemimpin memiliki kehendak membangun yang manunggal dengan rakyat. Apa yang diinginkan rakyat, begitulah pemimpinnya. Sayangnya, demokrasi tidak menyediakan kalkulasi keinginan yang terlalu sederhana.
Bangsa ini sedang diliput demokrasi biaya tinggi (high cost democracy). Secara material, baik Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) butuh biaya besar. Secara immaterial, perhelatan tersebut menguji modal sosial (social capital) yang selama ini dimiliki masyarakat, yakni kebersamaan, gotong royong, tenggang rasa dan toleransi—dalam realitas politik yang terjadi justru sebaliknya. Harapan bahwa pemilihan langsung mampu menyeleksi pemimpin bangsa terbaik masih sebagai angan yang butuh pembuktian. Repotnya, belum sampai bukti tersiar, Pemilu berikutnya sebentar lagi akan tergelar.
Kodrat sebagai makhluk praksis
Pada dasarnya manusia terkodrat sebagai makhluk praksis yang membedakannya dengan binatang. Untuk hidup dan mempertahankan diri, binatang hanya cukup bermodal insting. Sedang manusia, ia punya kemampuan praksis yang tidak hanya berhenti pada keadaan yang terberi (given). Manusia mampu merambah ’dunia lain’ yang tidak hanya kini dan di sini, juga esok dan disana. Dalam dirinya, seorang manusia punya keinginan dan kemampuan untuk mencapai keinginan itu.
Praksis dalam perspektif Freirean berarti menggabungkan antara tindakan dan refleksi sekaligus. Dalam melakukan tindakan, seseorang sekaligus juga melakukan analisis kelayakan tindakannya itu. Dengan kata lain, kepraksisan seseorang dilihat dari intensionalitas (kesadaran)-nya dalam bertindak.
Tindakan seseorang yang mewujud dalam perilaku politik lebih mudah terimbas dalam perilaku yang tidak mencerminkan kesadaran. Dalam melakukan agenda politiknya, para politisi rentan terjebak dalam perilaku politik yang a-sadar, apalagi sengaja tertuju sebagai manufer. Para politisi terdominasi tindakan politik sadarnya oleh dorongan-dorongan yang bersifat menguasai (need of power). Pemandangan semacam ini bisa dilihat pada sebagian tokoh politik yang buru-buru mendeklarasikan diri sebagai calon presiden, safari politik, dan penggalangan dukungan partai terhadap calon presiden tertentu. Mereka sedang mempraktekkan kepraksisan yang sebagian. Kalau bukan verbalisme dengan mengumbar janji hambar, maka yang dilakukan hanyalah aktivisme, yakni tindakan yang sonder manfaat bagi rakyat.
Para calon presiden tersebut, yang berharap turut berpartisipasi dalam kontestasi pemilihan langsung, sudah lebih dini menyangkal kodratnya sebagai makhluk praksis. Mereka melakukan tindakan yang tidak sepenuhnya berasal dari refleksi atas kebutuhan rakyat pada umumnya. Mereka asyik masyuk melakukan manufer politik pada saat keprihatinan bangsa ini melanda semua sektor kehidupan. Bencana datang bertubi : gempa bumi, banjir, lumpur panas, gunung meletus dan kebakaran —untuk menyebut beberapa diantaranya. Dan, yang tersisa adalah kepedihan menanggung derita.
Belajar dari Surabaya
Menjelang bulan November 1945, saat usia bangsa Indonesia baru beberapa bulan, kepemimpinan praksis Presiden Sukarno diuji. Pada saat ’orang-orang Indonesia sedang menembak dan menikam dan membunuh secara membabi buta’ pihak Inggris mendatangkan Sukarno untuk menghentikan pembantaian. Saat itu, Sukarno menyiarkan seruan yang mendekati verbalisme, "Sekali lagi, saudara-saudara, saya dengan ini memerintahkan agar pertempuran melawan Sekutu dihentikan". Perlawanan yang dilancarkan oleh segenap elemen masyarakat Surabaya itu tak kuasa dibendung oleh seruan Sukarno. Pada akhirnya ia tidak bisa berkata apa-apa setelah didesak oleh pertanyaan-pertanyaan dari pejabat-pejabat Jawa Timur, kecuali "kami membiarkannya kepada Surabaya". Tepat pukul 23.00, tanggal 9 November 1945 Gubernur Jawa Timur mengumumkan melalui Radio Surabaya bahwa kota itu akan melakukan perlawanan sampai akhir (Reid, 1996).
Walau rakyat Surabaya hanya bersenjata bambu runcing, tapi semangatnya mampu menyentak pasukan Sekutu. Setelah Surabaya, kota-kota lain di Kalimantan dan Sulawesi terjadi demonstrasi anti penjajah. Begitu juga di Jawa dan Sumatera, serangan anti Sekutu dan Belanda berkobar sampai akhir tahun 1945. Pertempuran demi pertempuran itu akhirnya menyadarkan belanda untuk mengganti penyelesaian dari militeristik ke jalur diplomasi.
Kehendak Sukarno untuk menghentikan perlawanan terhadap Sekutu mungkin masih dimaklumi. Proklamasi kemerdekaan yang saat itu baru dikumandangkan mengubah haluan perjuangan dari militeristik ke diplomasi. Sukarno tidak sepenuhnya salah ucap. Hanya saja kehendak rakyat Surabaya yang membulat kuat tak mampu lagi ditampik dengan sekedar seruan larangan perang. Saat itu Sukarno pun harus menyadari akan kebulatan tekad rakyatnya untuk melawan Sekutu.
Pertempuran di Surabaya mengajarkan elite negeri ini untuk memimpin dengan praksis. Pemilihan pemimpin langsung memungkinkan adanya pemimpin yang sekehendak dengan rakyatnya. Pemimpin yang praksis adalah pemimpin yang sekata dengan yang dipimpinnya. Tindakannya adalah buah dari refleksi atas kebutuhan maslahat rakyatnya. Bukan manufer, apalagi janji-janji.
Menteng Raya, 8 November 2007
Konsultasi Syariah Islam (KSI)
11 tahun yang lalu



