Belajar dari Kawan Lama
Saya menemui peristiwa yang menarik, setidaknya bagi diriku sendiri. Kejadian yang aku alami ini menyadarkanku pada berartinya sebuah perkawanan lama. Juga, mengajarkanku bahwa kawan lama tidak selamanya harus dinomorduakan, alih-alih mementingkan jalinan perkawanan yang baru. Kawan lama jadi semacam ‘barang antik’ yang, jika berjumpa, akan menyisakan sebuah ketakjuban.
Peristiwa itu terjadi pada sore hari menjelang berbuka puasa. Saat itu aku bersama kawan-kawan satu asrama hendak berangkat ke sebuah perjamuan buka puasa. Karena tempatnya berjarak sekitar lima kilo dari asrama, kami memutuskan memakai taksi. Kami bersepuluh orang sudah berada di trotoar jalan dekat Tugu Tani. Pada saat kami menunggu taksi, handpone-ku berdering. Seorang kawan lama menghubungiku. Ia menagih janjiku yang kuucap siang hari bahwa aku bersedia hadir dalam acara buka puasa yang diadakan oleh kawan lama, teman-temanku waktu kuliah di Jogja dua tahun lalu. Namun, saat itu pilihanku lebih berat untuk menghadiri buka puasa dengan kawan-kawan satu asrama. Aku pun menolak permintaannya untuk berbuka bersama.
Aku masih berdiri di trotoar, menunggu taksi yang belum juga melangsir. Pikiranku masih dibayangi oleh permintaan teman lama itu yang tidak sanggup aku penuhi. Aku seperti menyesal. Aku merasa terlalu sayang tidak dapat hadir. Tapi itu tidak berlangsung lama, hilang saat sebuah taksi melangsir dan hendak membawaku ke sebuah tempat berbuka puasa dengan teman-teman satu asrama. Segera saat aku mendekati taksi, tiba-tiba sebuah sedan warna hitam berhenti. Seseorang dengan wajah yang pernah akrab dalam benak keluar dari sedan hitam itu. Ia hadir di depanku saat sebuah taksi berhenti dan hendak membawaku pergi. Ia adalah kawan lama yang baru saja menelponku beberapa menit yang lalu.
Sebuah pertemuan tak diduga terjadi. Aku spontan menyapanya, menjabat tangannya erat, lalu memeluk tubuhnya.
“Hei, Fahmi. Ayo berangkat. Sudah ditunggu teman-teman di Monas.” Ia lalu menyebut beberapa nama yang pernah akrab di telingaku.
“Aduh, gimana ya?” aku menjawab penuh keraguan.
“Ayolah, ini acara yang sekali-kalinya loh, minggu depan belum tentu kita mengadakan lagi.” Ujar teman lamaku itu meyakinkan.
“Aduh, gimana ya? Aku juga mau berangkat ini dengan teman-teman.” Jawabku dengan masih membersit keraguan.
“Ayolah, Mi…” ujar temankku setengah memelas.
Aku pun mengambil keputusan itu. Setelah berpamit pada teman-teman seasrama, tubuhku tertelan sedan warna hitam itu. Aku memenuhi permintaan teman-teman lama untuk hadir dalam sebuah perjamuan berbuka.
Setelah jamuan buka berupa nasi kotak terlahap habis, teman lama yang tadi menjemputku melontarkan sebuah pengumuman.
“Ini makanannya iuran 25 ribu per-orang.” Sejenak aku mengernyit dahi. Saat itu aku tidak bawa uang sebesar itu. Aku lalu mendekatinya dan bergegas berujar, “Aku….” Belum sampai satu kalimat sempurna terlontar, si pemberi pengumuman itu langsung mencegat, “kalau kamu nanti saja iurannya, Fahmi.”
Aku tersenyum berbunga-bunga. Aku memendam pikiran yang aku sendiri saja yang mengetahuinya: bisa bertemu kawan lama, dijemput tepat di depan asrama, juga, makan bersama tanpa ikut iuran sepeser.
Aku semakin sadar akan berartinya perkawanan. Pertama, tidak melupakan atau meninggalkan kawan lama, kedua, akrabkan lagi kawan yang sedang dijalin saat ini. Karena, bisa jadi suatu ketika kita akan menemui sebuah peristiwa yang menakjubkan akibat jalinan perkawanan yang terrajut di masa lampau.
Konsultasi Syariah Islam (KSI)
11 tahun yang lalu