Kebaikan yang tidak Mengenal Konteks
Kebaikan tidak mengenal konteks. Atau ini hanya pengetahuan saya yang terlambat bahwa ternyata ada kebaikan yang tidak mengenal konteks. Kebaikan lebih mementingkan isi. Dan, di Jakarta ada orang yang berbuat baik tanpa mengenal konteks. Semoga bukan orang baru di jakarta: yang untuk beberapa lama (atau mungkin selamanya) meninggalkan kampung halaman—yang diwajarkan sebagai kaum udik. Juga bukan dari kalangan yang terbiasa terjaga kesuciannya dengan tiada henti berbuat baik—seperti biksu yang keluar dari biara.
Ya, kebaikan tidak mengenal konteks. Betapa tidak? Ini setidaknya saya alami siang tadi, dari sebuah perkenalan yang sebentar. Dari sebuah sapaan yang tidak aku kehendaki. Tapi sapaan yang dikehendaki olehnya, dari orang yang berbuat baik tanpa mengenal konteks. Sebuah sapaan yang tanggung, sekedar memuluskan jalan baginya untuk mendekati konten. Sapaan dilakukannya sebagai syarat untuk menjalani laku kebaikan. Mungkin kebaikannya tidak terlalu banyak harganya, tapi bernilai tinggi bagiku yang tergugah oleh laku kebaikan. Karena, kebaikan yang dilakukannya hanya berharga satu gelas es campur!
Otot kaki yang gemetar—akibat berjalan lama—memaksa saya mendamparkan tubuh di tengah taman Kwitang. Rasa haus ingin tercukupi dengan memesan segelas es campur. Digenapi keinginanku (beristirahat di taman) oleh nuansa baru dalam aktivitas membaca: menikmati buku lama yang baru dibeli. Sambil menunggu pesanan segelas es campur itu tersedia, saya membuka-buka halaman kertas buku yang lusuh—dan berbau kertas tua. Saat saya menggapai es campur dengan parutan es-nya yang mengungguni gelas, seseorang berbadan hampir-hampir setinggi dua meter mendekat di samping tempat duduk saya. Lalu ia menyapa dengan sapaan yang membutuhkan rasa nyaman.
“Mas, kalau mau ke Cengkareng pakai bus yang mana ya?” pertanyaan perihal jalar transportasi yang lebih dari 90 persen (pertanyaan perihal itu) tidak bisa aku jawab dengan meyakinkan. Ia berbicara dengan logat yang meyakinkan saya bahwa yang mengajak bicara berasal dari wilayah nusantara yang jauh.
“oh, gini aja Mas, lebih baik ke terminal Senen dulu, nanti disana bisa memilih bus yang ke arah Cengkareng”. Sebuah jawaban yang tidak terlalu memuaskan memang, tapi tidak terlalu mengecewakan juga. Walaupun aku tidak begitu yakin apakah jawaban itu tepat, apalagi benar.
”Trus kalau mau ke Senen pakai apa?”
”Emmm...” saya menjawab terlalu lama, mengkin baginya saya belum menjawab sama sekali, sampai ia menoleh ke arah bajaj.
”Pakai itu ya..” akhirnya ia menjawab sendiri pertanyaannya.
Obrolan selanjutnya kami isi dengan mempertajam konteks kehadirannya saat itu di taman Kwitang. Darinya saya tahu bahwa ia seorang polisi, sakabayangkara yang sedang mengikuti perlemahan di Cibubur. Ia berasal dari sebuah kota kecil di sudut timur negeri ini: Papua. Aku masih terus menikmati es campur yang hampir tandas. Oh, ternyata ia pesan es campur juga. Percakapan yang kulakukan selanjutnya hanyalah basa-basi yang tidak hendak dirajut kelanjutannya jika bertemu lagi kelak.
Saat ia usai menghabiskan es campurnya, mendadak ia berdiri dan mencegat siklus saya sebagai pembeli yang harus membayar, “Sekalian saja mas, saya bayar”. Ia membayar es campur yang mestinya jadi tanggunganku sendiri. Mungkin aneh, dalam relasi yang sebentar dan tidak mendalam, ia berlaku seakan sebagai kawan akrab. Ia tidak terlalu dipusingkan oleh siapa saya, darimana asal saya, kerja dimana saya. Karena pertanyaan-pertanyaan itu memang tidak sekalipun ia lontarkan pada saya. Ia seakan tidak mementingkan konteks yang melingkupi kehadiranku saat itu.
Konteks, bagi mereka yang yang terlanjur lekat dengan kebaikan yang tanpa pamrih, mungkin bukan berarti tidak ada. Konteks bagi mereka tidak terlalu dipentingkan, mungkin nyaris tiada. Para pelaku kebaikan yang tidak mengenal konteks mungkin seperti orang yang bernapas: nyaris tidak mengenal O2. Hanya sekedar mewajibkan diri mengikuti ritme makhluk yang hidup: ambil napas dan buang napas. Baginya, konteks ada bersamaan dengan keberadaannya di dunia. Dengan kata lain, keberadaan dirinya di dunia memang dalam konteks menyebarkan kebaikan sebanyak-banyaknya. Kepada apa dan siapa saja, kenal maupun tidak. Mungkin ini yang dimaksud rahmatan lil alamin. Sayangnya, dalam percakapan yang sebentar dan dangkal itu saya tidak (tertarik) mengetahui agama yang dianutnya. Bagi saya jika sudah sampai pada esensi rahmatan lil alamin, konteks keberagamaan seseorang tidaklah terlalu penting.
Menteng Raya, 6 Februari 2008
Konsultasi Syariah Islam (KSI)
11 tahun yang lalu
coba dulu. saya mengundang teman-teman untuk mengomentari tulisan ini..
BalasHapus