Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Jumat, 01 Agustus 2008

Maskulinitas Geng

Sebagai institusi yang sengaja dibentuk sendiri oleh remaja, geng tidak tampak eksistensinya tanpa kehadiran sesuatu yang menonjol. Kebutuhan anggota geng untuk menguasai, mendominasi, tampil beda, dan menampakkan kelebihan dibanding yang lain mendorong aggotanya menampilkan kepribadian maskulin. Sikap dan perilaku maskulin yang mendapat tempat dari pihak lain di luar anggota gengnya dikukuhkan sebagai cara yang mampu memenuhi kebutuhan untuk diakui statusnya dalam kelompok sebaya (peer-status needs).

Sikap dan perilaku maskulin dalam geng tumbuh sedangkan sikap dan perilaku yang mencerminkan femininitas dalam geng ditekan. Maskulinitas ini terejawantah dalam cara menyikapi sesuatu (jantan atau tidak), cara berbicara (tegas atau tidak) maupun cara bertindak (keras atau tidak). Sebagai sebuah ciri kepribadian, maskulinitas dalam geng tidak memandang apakah anggota gengnya terdiri atas laki-laki atau perempuan. Sebagaimana pribadi maskulin yang tidak identik laki-laki, maskulinitas dalam geng pun tidak memandang apakah anggota geng terdiri atas laki-laki saja, perempuan saja atau keduanya.

Dalam sebuah geng yang notabene kumpulan orang, penampilan maskulin pun cenderung mendapat tempat yang tepat bagi remaja. Jadi, bisa dipahami bahwa geng yang anggota-anggotanya berjenis kelamin perempuan pun bisa menampilkan sikap dan perilaku maskulin. Bahkan lebih dari maskulinitas yang ditampilkan laki-laki, seperti adegan kekerasan geng Nero (Neko-neko Dikeroyok) yang berulang kali ditampilkan di layar televisi beberapa waktu lalu. Anggota geng lebih mendapat status di hadapan teman sebaya yang lain dengan menampilkan ciri kepribadian maskulin (Lips, 2005) yang kompetitif, dominan, petualang, berani, agresif dan resisten terhadap tekanan. Sedangkan ciri kepribadian feminin yang penuh kasih sayang, simpatik, jentel, sensitif, pengasuh, sentimental, mampu berhubungan sosial dan koopertif kurang diapresiasi dalam pergaulan antaranggota geng.

Potensi Maskulin
Kecenderungan anggota geng yang menampilkan sikap dan perilaku maskulin sesungguhnya tidak lepas dari dinamika psikologis masa remaja itu sendiri. Masa remaja merupakan masa subur bagi tumbuhnya maskulinitas. Sebagai masa peralihan menuju dewasa, remaja sering ‘tersesat’ pada premis bahwa seseorang yang dewasa adalah yang menampilkan sikap dan perilaku maskulin. Gerak pertumbuhan psikologis remaja dari interaksi yang terjalin dengan orang tua menuju interaksi dengan teman sebaya justru cenderung sebagai ‘pemberontakan’ atas norma-norma yang terjalin sebelumnya (di keluarga maupun di sekolah). Keinginan untuk tampil dengan sikap dan perilaku berbeda dari sebelumnya menyumbang intensi remaja untuk menampilkan kepribadian maskulin. Maskulinitas pada remaja merupakan buah bagi pertumbuhan interpersonal yang belum sepenuhnya matang. Perkembangan intelektual, emosi dan sosial pada remaja yang belum matang memengaruhi cara remaja berinteraksi dengan orang lain. Terhadap suatu kejadian, remaja berpeluang terjebak dalam cara berpikir pendek yang irasional, tanggapan emosi yang mudah tersulut dan gagap menyesuaikan diri diantara norma-norma masyarakat. Sebagai misal, agresi sebagai aspek pribadi maskulin akan muncul pada remaja sebagai reaksi atas sesuatu. Menurut Abraham H Maslow (1994), agresi dan sikap yang mementingkan diri pada remaja lebih sering timbul sebagai akibat perasaan kecewa, ditolak, kesepian, takut tidak dihormati, takut kehilangan perlindungan. Pada kasus geng Nero, hasil penyelidikan sementara yang dilakukan polisi (Kompas, 23/6) menunjukkan bahwa motif kekerasan bermula dari masalah pribadi yang dibawa ke solidaritas kelompok. Salah satu anggota geng mengaku telah dihina oleh teman sekolahnya. Lalu ia menceritakan persoalan tersebut ke teman-teman anggota gengnya. Persoalan pun diselesaikan dengan cara geng: korban dibawa ke lorong gang Blimbing, Juwana, lalu di dampar dan dijotos mukanya. Sebuah adegan yang lebih mencengangkan dibanding perhelatan dua laki-laki di atas ring tinju. Selain dinamika psikologis remaja, dinamika kelompok pun potensial mumunculkan sikap dan perilaku maskulin. Myers (2005) mengartikan kelompok sebagai dua orang atau lebih yang dalam waktu lama saling berinteraksi dan memengaruhi satu dengan yang lain dan merasakan satu sama lain sebagai ‘kita’. Kekitaan ditunjukkan dengan solidaritas. Dan bagi remaja, solidaritas tidak jarang disalahartikan dengan cara melakukan pembelaan-pembelaan yang menunjukkan maskulinitasnya. Pembelaan terhadap seorang anggota geng --yang disakiti, dikecewakan, dihina-- pada dasarnya pembelaan terhadap nama baik geng dan harga diri anggota-anggotanya.

Otonomi Moral
Potensi maskulin yang terejawantah tidak proporsional sesungguhnya dapat dikekang dengan menumbuhkan otonomi moral pada remaja. Otonomi moral memungkinkan remaja bersikap dan berperilaku seturut kontrol dirinya. Remaja tidak menimbang sikap dan perilakunya dari kendali eksternal (termasuk dari temannya yang segeng) tapi dari pertimbangan moral yang tumbuh dari kesadaran sendiri. Namun, menilik perkembangan moral Lawrence Kohlberg (1927-1987), remaja cenderung masih berada pada perkembangan moral konvensional yang tindakan-tindakannya dipengaruhi oleh apa yang diinginkan orang-orang di sekitarnya (keluarga, teman sebaya, maupun lingkungan sekitar). Mungkin butuh pengasahan moral yang terus-menerus untuk mencapai otonomi moral—ini akan beriringan dengan tingkat kedewasaan. Remaja yang memiliki moralitas otonom ini bukan hanya tidak terpengaruh oleh maskulinitas destruktif yang ditampilkan oleh anggota-anggota gengnya, tapi bahkan mengendalikan maskulinitas yang destruktif itu. Adanya otonomi moral mendorong remaja menimbang ulang bahwa sikap dan perilaku yang baik itu bukan hanya yang maskulin. Seluhurnya, nama baik geng akan diperoleh bukan dari sikap dan perilaku maskulin semata. Maskulinitas dan femininitas potensial menampilkan harga diri tinggi anggota-anggota geng asal sesuai dengan norma moral yang berlaku. Eksistensi geng yang terbentuk karena minat (hobi) misalnya, tidak diukur dari tingginya kadar maskulinitas (seperti pada geng motor) tapi sejauh mana minat (hobi) itu mampu memenuhi kebutuhan aktualisasi pribadi dan memberi manfaat bagi orang lain (publik). Lebih dari itu semua, otonomi moral yang bisa mengekang potensi maskulin yang negatif dapat tumbuh pada remaja jika dan hanya jika lingkungan mendukung tumbuhnya otonomi moral itu. Sayangnya, lingkungan yang diketengahkan pada remaja justru rangkaian kejadian yang memupuki maskulinitas yang negatif itu : kekerasan muncul dimana-mana!

1 komentar:

  1. bagaimana dengan remaja yang bersekolah di asrama atau di sekolah kejuruan??
    apkah mereka tetap membentuk suatu geng?? dan maskulinitasx apakah sama??

    BalasHapus

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.