Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Jumat, 28 November 2008

Buku Resep Pengajaran Moral

Melalui renungan-renungan puitisnya, Kahlil Gibran dikenal sebagai salah satu dari berderet nama pujangga besar dunia. Namun, ia bukan hanya sebagai pujangga kenamaan saat bermadah, “anakmu bukanlah anakmu, anakmu adalah anak dari zamannya”. Dari perenungannya yang dalam atas dimensi kehidupan umat manusia, dia bisa disebut sebagai, tidak hanya pujangga yang menyemburkan kata-kata, tapi juga pendeta yang menganjurkan moral dan etika.

Mungkin ya, seseorang disebut anak jika secara biologis terlahir dari rahim ibunya. Tapi juga tidak, bahwa selain kepemilikan secara biologis, anak bukanlah anak dari ibunya. Secara psikologis (yang berdimensi individu-kepribadian), sosiologis (dimensi kelompok-kemasyarakatan) dan antropologis (dimensi komunal-kebudayaan), seorang anak lahir dari rahim zamannya. Zaman telah bertindak selaku ibu : menyusui, mengasupi, membesarkan, bahkan mendidik anak sehingga mampu bersikap dan berperilaku sesuai kehendak zaman. Sayangnya, zaman tidak selamanya bisa menjadi ibu yang baik!

Era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah menghadirkan lingkungan di sekitar anak yang, dalam satu sisi meninggikan harkat hidup yang beradab, pada sisi lain mampu memerosokkan anak pada liang kebiadaban. Perangkat TIK, selain bisa memudahkan hidup, juga memendam potensi merendahkan hidup. Pada era ini, teknologi turut menentukan penilaian seseorang tentang sesuatu, apakah sesuatu itu benar atau salah. Dalam hal ini, teknologi berperan serta dalam membangun kadar moral seseorang. Moralitas serupa batu yang terus menerus diasah : jadi batu permata jika memancarkan keluhuran, atau jadi lempung yang lembek, hitam pekat dan mengotori jika mengalami kelunturan.Namun tidak jarang, orang tua maupun pendidik tersandung oleh buaian perangkat TIK ini : anak-anak yang harusnya mendapat pengajaran moral tidak bisa lagi mengasupnya. Justru anak-anak mengasup pelajaran-pelajaran buruk teknologi zaman ini. Bahkan sampai pada kesimpulan bahwa “televisi, film, video permainan, musik pop, dan iklan memberikan pengaruh terburuk bagi moral mereka karena menyodorkan sinisme, pelecehan, materialisme, seks bebas, kekasaran, dan pengagungan kekerasan” (hlm. 5). Penulis buku ini, Michele Borba, bukan hendak mematikan sumbu optimisme. Ia justru hendak menyalakan optimisme orang tua dan para pendidik bahwa walau teknologi media bisa berpengaruh buruk, media bisa dikendalikan. Lingkungan di sekitar anak bisa menumbuhkan moral yang tinggi. Karena, menurutnya, moralitas bisa diajarkan, dan moral dapat dididik jadi makin cerdas. Melalui bukunya yang bertajuk Membangun Kecerdasan Moral, Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral Tinggi ini, Borba ingin memberi sumbangan bagi proses pencerdasan moral anak. Dan, dalam skala yang lebih luas, upaya pencerdasan moral anak pada dasarnya juga proses pencerdasan moral bangsa.

Tujuh kebajikan utama
Masih terngiang dalam bilik ingatan, sebuah adegan kekerasan tak lumrah terekam melalui video handphone. Medio April 2008 sekelompok remaja putri menganiaya temannya sendiri dengan cara memukul bergantian ke arah kepala—organ vital yang menentukan masa depan setiap orang. Dari dialog yang terrekam, korban diperintah menunjukkan sikap hormat pada anggota-anggota geng yang bernama Nero (Neko-neko Dikeroyok). Saat korban mengangkat tangan ke samping kanan dahinya –seperti layaknya hormat bendera—seorang temannya mendampar wajahnya berkali-kali. Lalu sesekali menjotos tepat di hidung dan mulut korban sampai kepala korban terantuk ke belakang. Pertunjukan yang ditampilkan remaja puteri asal Pati itu lebih dari perhelatan di atas ring tinju: tanpa sarung tangan, dilakukan dengan keroyokan dan tanpa perlawanan dari pihak lawan. Usut punya usut, penyebabnya sederhana. Seorang anggota geng Nero mengaku telah dihina oleh teman sekolahnya. Lalu ia menceritakan persoalan tersebut ke teman-teman anggota gengnya. Persoalan pun diselesaikan dengan cara geng: korban dibawa ke lorong gang Blimbing, Juwana, lalu di dampar dan dijotos mukanya.Kekerasan yang dilakukan remaja puteri di atas tidak akan terjadi manakala tertanam satu dari tujuh kebajikan utama : empati. Adanya empati ini, seseorang mampu memahami perasaan dan kekhawatiran orang lain. Tidak hanya itu, seorang yang berempati mampu menampilkan perilaku yang mengejawantahkan kedalaman pemahaman perasaan dan kehawatiran orang lain itu. “Empati merupakan emosi yang mengusik hati nurani anak ketika melihat kesusahan orang lain. Hal tersebut juga yang membuat anak dapat menunjukkan toleransi dan kasih sayang, memahami kebutuhan oang lain, serta mampu membantu orang yang sedang kesulitan. Anak yang belajar berempati akan jauh lebih pengertian dan penuh kepedulian, dan biasanya lebih mampu mengendalikan kemarahan” (hlm. 21). Dengan terbangunnya empati, kebijakan utama yang lain, yakni hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi dan keadilan turut bersama-sama terbangun. Tujuh kebijakan utama tersebut merupakan pilar-pilar yang menguatkan kecerdasan moral. Kokohnya pilar-pilar tersebut membantu anak dalam menghadapi tantangan dan tekanan terhadap moralitas yang akan dihadapinya kelak. Ya, kelak, saat dewasa, menghadapi zaman yang lebih canggih, gempita, marak dari zaman yang sedang dihadapi saat ini. Empati banyak diulas oleh Daniel Golemen dalam bukunya Emotional Intelligence (1995). Golemen menunjukkan bukti-bukti tentang kuatnya peran empati dalam meningkatkan kecerdasan emosi seseorang. Dan bagi Borba, membangkitkan kesadaran dan perbendaharaan ungkapan emosi mampu mengasah ketajaman empati seseorang. Ia menunjukkan dua penelitian yang dilakukan oleh John Gottman, professor psikologi dari Universitas Washington. Gottman melakukan penelitian selama sepuluh tahun terhadap 120 keluarga. Dari hasil penelitian terungkap bahwa anak-anak yang mempunyai orang tua sebagai ‘pelatih emosi’ bisa belajar memahami dan menguasai emosi lebih baik, lebih percaya diri dan lebih sehat secara fisik. Mereka juga mendapat nilai lebih tinggi dalam mata pelajaran matematika dan membaca, mampu bersosialisasi, dan kecenderungan stress yang rendah.

Resep terperinci
Dalam buku ini, pembaca tidak hanya disajikan berderet-deret teori dan bukti penelitian tentang moral semata. Didalamnya pembaca dapat menyelami beragam resep dan strategi terperinci tentang bagaimana membangun kecerdasan moral. Saat pembaca mulai menjajaki halaman-halaman buku, perlahan-lahan mulai merasakan hamparan khasanah pengkajian moral yang mendalam. Bukan sekedar ketajaman konseptual, tapi juga keluasan praktikal. Membaca buku ini seperti mendapat resep-resep, sebagai obat bagi moral yang sakit. Juga, menikmati buku ini laksana mendapat resep-resep menu sajian spesial bagi siapa saja yang memiliki selera tinggi atas moralitas.Resep yang terperinci dan dengan jitu mengulas-kupas langkah-langkah dalam membangun kecerdasan moral ini tidak akan terpapar baik dalam buku ini jika tidak dilakukan oleh orang semacam Michele Borba. Latar belakang keterlibatannya dalam seluk beluk membangun moral tidak melulu bergulat dalam teoritik saja atau praktikal saja, tapi keduanya. Keluasan wawasan dan kekayaan pengalaman, mampu menyumbang bagi kekuatan buku ini dalam mengkaji moral.Dengan mengantongi gelar doktor di bidang psikologi pendidikan dan konseling dari Universitas San Fransisco, Borba menjalin kerja sama dengan lebih dari setengah juta orang tua dan guru dalam membangun kecerdasan moral selama dua dekade. Sebelumnya, ia adalah guru kelas dan sekolah dengan pengalaman mengajar yang luas. Ia juga pernah bekerja dengan anak-anak yang kesulitan belajar, anak-anak dengan fisik, perilaku dan emosi yang kurang baik, dan anak-anak berbakat. Wawasan dan pengalamannya mampu menuntunnya dalam berbagi ilmu dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui buku ini.Buku ini terdiri atas tujuh bab yang mengulas satu persatu dari tujuh kebajikan utama dalam membangun kecerdasan moral. Secara berurutan bab-bab tersebut yakni empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hari, toleransi dan keadilan. Tiap-tiap bab mengupas penyebab merosotnya kebajikan utama, pengertiannya, tes moral diri dan langkah-langkah membangun kebajikan utama itu. Pada tiap bab ditampilkan cerita berdasarkan kasus-kasus yang ditemui Borba selama dua puluh tahun membantu anak, orang tua, dan guru.Buku ini diharapkan mampu membantu orang tua dan guru dalam mengantar anak-anak dan remaja menuju kecerdasan moral yang tinggi. Apalagi, zaman ini seperti ingin merebut anak dari otoritas moral yang hendak diajarkan oleh orang tua dan guru. Adanya buku ini diharapkan dapat mengoptimalkan peran orang tua dan guru sebagai lingkungan terdekat yang akan mawarnai hitam putihnya moral anak. Sebagai kata akhir, tidak salah jika dikutip kata bijak dari Konfusius, alih-alih dukungan bagi orang tua dan guru sebagai pengajar moral –sebagaimana dikutip Borba, “Pemandangan terindah di dunia adalah seorang anak yang melangkah di kehidupan ini dengan penuh percaya diri setelah kita menunjukkan jalannya.” oOo

2 komentar:

  1. bapa maaf dapat buku ini dari mana?

    BalasHapus
  2. Maaf kalau boleh tanya apakah bapak menjual buku ini? Karena saya sgt membutuhkan buku ini sebagai referensi tugas akhir saya

    BalasHapus

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.