Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Sabtu, 29 November 2008

Wartawan, Wartawan

Seorang lelaki muda berkacamata memasuki ruangan. Ia hendak mewawancarai seorang pejabat teras di kantor itu. Di ruangan itu, dengan pejabat teras, ia bercakap hangat. Lima belas menit kira-kira. Saya tidak tahu apa yang dibicarakan mereka. Dengar punya dengar, pejabat teras di kantor itu diminta pendapatnya tentang isu hangat menjelang pemilu.

Lalu, pendapatnya akan dimuat sebagai berita di sebuat koran tempat pemuda itu bekerja—bekerja sebagai wartawan. Usai mewawancara, pemuda berkacamata itu mendapat oleh-oleh secarik amplop yang diberikan oleh staf pejabat kantor itu.

Pada waktu dan tempat yang lain, seorang pemuda yang berperawakan kurus datang di suatu seminar pagi-pagi—saat yang lain masih terjebak macet di jalan-jalan kota Jakarta. Akunya, Ia datang atas permintaan panitia. Ia mendaku sebagai koordinator liputan dari para wartawan berbagai media, baik cetak maupun elektronik, yang akan meliput jalannya seminar pagi itu. Saat seminar belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, pemuda kurus itu mendekati panitia, mengurus amplop-amplop yang akan diberikan pada para wartawan yang meliput seminar pagi itu.

Wartawan. Sebuah profesi yang bagi saya sangat mengesankan. Ejaan namanya tidak jauh dengan ‘Hartawan’. Keduanya sama-sama kaya, namun berbeda pemilikan. Wartawan kaya warta, hartawan kaya harta. Bagi siapa saja, segala yang kaya tetap menyisakan kilau di mata. Saya sempat disilaukan pada wartawan. Saat kecil saya dulu, karena terpana oleh keagungan profesi itu: bercita-cita sebagai wartawan saat saya besar kelak.

Saya kecil punya anggapan sendiri tentang wartawan. Wartawan itu cerdas. Ia bisa menanya sesuatu dengan pertanyaan lugas dan mengalir, bahkan narasumber tidak bisa menjawabnya. Wartawan itu bisa dekat dengan para pejabat. Ia bisa menyanya informasi dari para pejabat dengan sedemikian akrab. Sebagaimana anak kecil yang lain, saya kecil tidak berpikiran kemampuan apa yang harus dimiliki seorang wartawan. Bagi saya kecil, menjadi wartawan adalah semacam keinginan. Atau bahkan angan-angan.

Bagi saya kecil, angan-angan—atau yang umumnya disebut cita-cita– punya hukumnya sendiri. Ia penuh dengan kepolosan, sebagaimana pikiran saya kecil waktu itu. Saya kecil punya citra ideal atas figur yang saya cita-citakan itu. Wartawan adalah figur ideal tanpa cela, yang bagi saya kecil layak untuk menjadi figur itu saat besar kemudian.
“Bu, bagaimana cara menjadi wartawan?” saya menanya kepada Bu Rahayu, guru bimbingan konseling saat saya beranjak kelas 2 SMP. Saya kecil ingin mengobati penasaran apakah menjadi wartawan punya pendidikan khusus—semacam sekolah kejuruan. Maklum, saat itu di lingkungan saya, sekolah kejuruan adalah jalan mulia untuk memperbaiki nasib hidup keluarga.
“Kalau mau jadi wartawan ya harus masuk SMA” begitu jawab guru saya itu dengan meyakinkan.
“Lantas, setelah lulus SMA?” Saya tambah penasaran dengan jawaban yang dilontarkan guru saya itu.
“Ya tinggal melamar kerja sebagai wartawan” sambungnya. Kira-kira begitu sepenggal dialog tentang cita-cita saya kecil dahulu. Masih jelas teringat, karena sejak itulah saya memaksa diri mendeklarisir cita-cita saya itu. “Mudah sekali jadi wartawan” ungkap saya dalam hati.

Tapi ternyata jadi wartawan tidak semudah itu. Yang saya maksud bukan pada jenjang pendidikan formal yang harus ditempuh, tapi pada pendidikan ‘informal’ yang harus dilalui sebagai wartawan. Bahwa menjadi wartawan ternyata tidak sekedar dikerumuni oleh banyaknya kelebihan-kelebihan (bagi saya kecil: cerdas) dan segala sesuatu yang menyenangkan (bagi saya kecil: bertemu leluasa dengan pejabat).

Wartawan itu kaya berita, tapi tidak sedikit wartawan yang ingin kaya harta, sonder berita. Wartawan itu kepribadian, bukan sekedar profesi—yang darinya seseorang bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Wartawan itu objektif atas nilai sebuah berita (news value), bukan subjektif atas berita—bahwa peristiwa atau sumber berita layak diwartakan kalau menjanjikan keuntungan buat dirinya sendiri.

Sampai saat ini, saya masih memendam (walau tidak terlalu dalam) cita-cita kecil saya itu. Semoga saya bisa menjadi ‘wartawan’ walau tidak menjadi wartawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.