Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Sabtu, 29 November 2008

Memiliki atau Menjadi Presiden?

Elite baru Indonesia oleh Sukarno secara bersenda gurau sering disebutnya sebagai orang-orang yang berlaku seperti pemegang saham dalam sebuah perseroan terbatas yang bernama Republik Indonesia. (Onghokham, 1994)

Sebutan pemegang saham kepada elite baru Indonesia kala awal kemerdekaan tentu hanya kiasan yang bisa dirasakan, lebih-lebih, oleh Sukarno sendiri. Pada awal pendirian republik ini, peran elite pemerintah sangat menentukan kokoh rapuhnya republik yang baru seumur jagung. Elite pemerintah masa itu berperan besar dalam proses political establishment agar negara yang baru terbentuk tidak urung berdiri.

Fenomena politik terkini menyegarkan kembali geguyon Sukarno itu. Elite politik saat ini menampilkan aksen yang kasat mata dan tak lagi tabu bahwa seakan-akan merekalah pemegang saham dari perseroan terbatas yang bernama Republik Indonesia. Mereka seperti pemilik penuh atas saham republik ini—yang tentu Sukarno, Hatta, Syahrir, Wahid hasyim, dan elite baru saat itu tidak merasa mewarisinya. Saat elite politik menunjukkan perilaku yang membenarkan kiasan Sukarno itu, geguyon di atas sudah tidak lagi lucu, namun ironis.
Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, satu persatu tampil para tokoh yang mencalonkan diri sebagai presiden. Baru kali ini saja, tidak sebelum-sebelumnya, jabatan presiden diminati oleh sekian banyak orang. Elite politik generasi tua dan yang lebih muda beradu debut dalam kontes yang diadakan lima tahun sekali ini. Dalam kacamata positif, banyaknya calon presiden dimaknai sebagai kesadaran masyarakat atas kepedulian, pengorbanan dan pengabdiannya kepada bangsa. Namun, pemaknaan tersebut makin buram oleh perilaku para calon yang, seakan-akan, ingin memiliki saham atas republik ini.

Demi mendongkrak rating, para calon presiden tiada henti mengiklankan diri di media cetak dan elektronik. Demi, menumbuhkan simpati, para calon presiden bersafari menjelajah negeri, menyambangi rakyat yang akan jadi pemilihnya. Demi mengamankan diri agar diusung sebagai calon presiden, mereka membidani partai politik baru. Demi meningkatkan popularitas, mereka mendeklarasikan diri sebagai presiden atau dideklarasikan oleh partai yang mengusungnya. Demi langgengnya kepemilikan atas republik, calon presiden memerankan politik keluarga: menempatkan anggota keluarganya dalam daftar calon anggota legeslatif.

Tidak tanggung-tanggung, UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dibuat sebagai sarana yang memungkinkan jalan mulus memiliki republik ini. Persyaratan perolehan kursi minimal 20 persen di DPR atau 25 persen suara sah dalam pemilu DPR bagi partai atau gabungan partai yang hendak mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden adalah jaminan bagi elite politik untuk memiliki republik ini. Sementara, partai politik atau fraksi yang menyatakan nota keberatan (minderheidsnota) atas penetapan UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden adalah indikasi bahwa kepemilikan atas republik ini berada dibawah ambang aman. Adanya ingar bingar pengajuan uji materi (judicial review) atas UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik maupun calon presiden hanyalah langkah awal, sedemikian rupa, agar dibela hak-haknya untuk menjadi komisaris bagi perusahaan bernama Republik Indonesia. Rangkap jabatan presiden dan wakil presiden dalam partai politik yang tidak diatur dalam UU adalah garansi bagi siapa saja yang terpilih untuk sepenuhnya menikmati kepemilikan atas republik.

Presiden: Otoritas yang dimiliki?
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden merupakan sarana kontrak sosial antara pihak yang memercayai (rakyat) dan yang dipercayai (presiden terpilih). Pihak perantara, dalam hal ini penyelenggara pemilu memungkinkan proses pemercayaan diantar keduanya. Pemilihan presiden dan wakil presiden memunculkan otoritas atas kekuasaan. Namun, proses pemilihan tersebut tidak sepenuhnya menjamin apakah calon yang terpilih ‘memiliki’ otoritas atau ‘menjadi’ otoritas.

Otoritas sebagai kepemilikan hanya memandang jabatan presiden sebagai sandangan formal belaka. Jabatan presiden diperoleh akibat telah dipenuhinya prosedur formal dalam pemilihan presiden. Para calon tidak terlalu berurusan apakah terpilihnya sebagai presiden karena strategi pencitraan diri (self-image) : sosok yang dipoles gagah dan tampan, stimulus yang dikondisikan dengan menampilkan sepositif mungkin kepribadiannya di media massa maupun merebut simpati sesaat dengan memberikan bantuan sosial yang penuh pamrih!

Otoritas sebagai kepemilikan tidak bertahan lama. Otoritas yang menyertai sosok presiden, baik dalam kepemimpinan, kebijaksanaan dan keahlian dalam mengelola kepentingan publik didapat karena atribusinya sebagai presiden. Sayangnya, otoritas itu dimiliki hanya selama masa jabatannya sebagai presiden.

Presiden dengan otoritas kepemilikan ini tumbuh dari dorongan untuk memenuhi ego diri. Ego diri bisa berupa pemenuhan kepuasan atas identitas, harga diri, status sosial, kekayaan, dan citra diri—yang cenderung hanya angan-angan berlebihan. Pencitraan diri calon presiden di media massa yang terlihat ramah, simpatik dan berada di pihak rakyat hanyalah luapan ego diri yang masih dalam bayangan dan sejatinya belum tentu bisa bersikap demikian.

Kemunculan ego diri ini tidak lepas dari refleksi atas konteks sosial di sekitarnya. Bisa saja seseorang mendeklarisir sebagai presiden dari kesadaran terdalam atas keprihatinannya terhadap republik ini. Namun, tidak bisa dipungkiri kalau ego sebagai calon presiden timbul dari segelintir orang-orang pendukungnya—yang seakan mewakili seluruh elemen masyarakat. Para pendukungnya inilah tim sukses yang turut serta menikmati kekuasaan dan aset-aset yang dimiliki republik. Jika ego diri berkuasa, para calon presiden tidak sungguh-sunggug jadi presiden. Mereka sedang merencanakan agenda besar, dengan otoritas kepemilikannya, hendak memiliki negeri ini.

Menjadi presiden
Telah banyak telaah eksistensial yang mengulas proses memiliki (to have) dan menjadi (to be). Erich Fromm mengulas dalam bukunya To Have or to Be (1976, terjemah Indonesia berjudul Memiliki dan Menjadi, LP3ES, 1987). Dengan merujuk pendapat Fromm, ‘menjadi’ presiden bukan hanya berdasarkan kompetensi seseorang untuk melakukan tugas-tugas kepresidenan, tetapi juga berdasarkan esensi kepribadian yang telah mencapai tingkat pertumbuhan yang matang dan integritas yang tinggi. Ada semacam intensionalitas pengalaman yang tinggi. Bukan sekedar mematut-matut diri sebagai calon presiden dan melakukan beberapa putaran kampanye untuk memeroleh sebesar-besar suara pemilih.

Pilihan untuk mencalonkan diri sebagai presiden bukanlah pilihan yang sederhana. Tentu para calon sudah mempertimbangkannya dengan matang. Namun, adakah kesempatan bertanya ulang bahwa pencalonan dirinya sebagai presiden memerlukan kematangan pribadi dalam pengalaman dan integritas? Orang-orang yang matang pribadinya, mungkin, telah menjadi presiden –dalam hal pengalaman dan integritasnya sebagai pemimpi n atau guru bangsa—bahkan sebelum ia menjadi presiden. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya, orang ramai memantaskan diri sebagai presiden jauh sebelum –atau bahkan belum tentu—menjadi presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.