Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Kamis, 22 Januari 2009

SMA PLUS PGRI Cibinong: Melibas Batas Ruang Belajar

Satu kalimat singkat tereja segera saat kami memasuki gerbang sekolah itu: sekolah yang mungil. Selanjutnya: yah, PGRI. Namun, dalam waktu yang tidak terlalu lama, stereotipe kami terbantahkan oleh fakta dibalik kata yang menyertai nama sekolah itu : Plus!

Kami segera menuju ruang kepala sekolah. Pintu kami buka. Beberapa orang terinterupsi kesibukannya, lalu menyambut kami. Tiada yang tersisa di papar wajah mereka selain senyum mengembang tanda keramahan.

Beberapa lama kami berdialoh dengan Drs Basyarudin Thayib, M.Pd. (kepala sekolah) dan Drs Agus Rohiman (Wakasek Urusan Kurikulum). Berpanjang-panjang kami mengkaji tentang pendidikan di Indonesia. Sejenak-jenak Pak Basyar mengupas kilas tentang kemajuan sekolah yang dipimpinnya. “Dahulu sekolah ini tidak ada apa-apanya, murid cuma 200 orang. Sekarang tahun ini kami menerima siswa baru sebanyak 540 orang”, kami belum saja menangkap nilai lebih sekolah ini. “Sekolah kami menerapkan Multiple Intelegence. Siswa digolongkan dalam 14 minat dan bakat mereka”, memang ketakjuban tidak cukup diterangkan dengan kata-kata.

Sebagai obat penasaran, kami senang saja saat diajak mengamati sudut-sudut sekolah. Di ruang yang paling depan: kursi-kursi berjajar rapi memanjang. Sepertinya kursi itu hendak berkata bahwa setiap orang adalah tamu istimewa. Ruang tamu dengan pintu yang selalu terbuka.
Kami melewati ruang istimewa lagi: ruang oval. Atapnya tinggi menjulang, berupa lingkaran bentuk oval warna keemasan. Di dalamnya, meja-meja terjajar rampat membentuk lingkaran oval. Di muka ruangan, meja tinggi dan kursi besar—seperti meja hakim di pengadilan—menghadap lingkaran meja oval itu. Di tepi kiri-kanan ruangan, piala warna keemasan tertata rapat sepanjang ruangan. Penilaian sekilas ruangan itu: bersih, rapi dan berwibawa. “Ini ruang guru. Salah satu cara untuk menghargai pendidikan itu dengan lebih dahulu menghargai guru” begitu alasan Pak Basyar seakan hendak membela guru.

“Disini biasanya juga kami gunakan untuk mengadakan seminar terbatas. Jika ada pakar datang, kami minta untuk berbicara di depan”, terang Pak Basyar sambil menunjuk ke meja kursi besar yang ada di muka ruangan. Sebuah ruang yang hendak diantar dalam aura akademis, bukan ruang padat serupa pasar penuh rumpian.

Di salah satu sudut sekolah kami jumpai ruang bertajuk research center. Disinilah para siswa yang disebut Kelompok Pembinaan Khusus (kopasus) IT melakukan kajian terhadap perkembangan IT. Ada meja tertata melingkar dengan beberapa monitor layar datar berdiri tegak menantang. Ada dua orang siswa duduk melantai sambil tangannya cekatan merakit komputer. Mungin ini workshop bagi para kopasus IT.

“Jika komputer sekolah rusak siswa Kopasuslah yang memperbaikinya. Jadi kita tidak mengeluarkan biaya perawatan komputer. Sekolah yang berbasis IT itu bukan menyediakan komputer yang tersambung di segala ruang. Kalau ada biaya siapapun bisa. Yang saya lakukan adalah membina dan membentuk tim IT dari kalangan guru dan siswa.” Kata Pak Basyar sambil mengajak ke ruangan lain.

Sejenak kami tercengang. Beberapa siswa khidmat menatap komputer di depannya sambil mengutak-atik foto, animasi dan video. Di dalam ruangan itu, tersekat ciut studio radio sekolah: Pesat FM. Dua orang siswa sedang bercuap-cuap merdu menyapa pendengarnya.

Pada halaman yang dikitari oleh gedung sekolah itu, pohon sawo dengan buah ranum merimbuni siapa saja yang duduk di bawahnya (pada tiap pohon sawo dilingkari oleh tempat duduk beton segi delapan). Saat itu sekelompok siswa memenuhi tempat duduk di bawah pohon sawo itu, dengan bukunya masing-masing. Ini hari sedang pelajaran matematika. Terdengar celoteh, tawa riang, dan aksi dorong di antara mereka. Sungguh hebat, pelajaran matematika dijalani dengan riang tawa.

Sekolah bolehlah mungil, ruang kelas bolehlah membatasi interaksi. Namun, proses belajar yang dilakukan di sekolah ini menyeka batas-batas ruang sosial mereka. Sepertinya, siswa membuat halaman dan gedung sekolah ini sebagai ruang kelas mereka. Jadi tak heran jika sekolah ini tak memendam kesunyian. Siswa bisa ditemukan dimana-mana!

Masih bersama Pak Basyar, kami susur kelas demi kelas. Kami mengintip satu persatu kelas itu. Kami saksikan jelas, dinding-dinding kelas hampir-hampir tertutup rapat oleh gambar-gambar. Ya, ada grafiti di dalam kelas!

Di salah satu kelas, siswa saling berkelompok dengan duduk berhadap-hadapan. Ya, ini bukan kelas tradisional yang seluruh siswanya wajib menghadap ke depan. Dalam belajar, interaksi antar orang yang terlibat dalam belajar itu tetap utama—untuk membentuk suasana belajar dan proses pembelajaran.

Tampaknya, Pak Basyar dan para pendidik di sekolah itu menyadari ungkapan John Dewey. Dalam Democracy and Education ia berkata bahwa sebaiknya sekolah menyediakan lingkungan yang dimurnikan bagi anak (Counts, 2006). Dimurnikan berarti juga menyisihkan segala paham, nilai, sikap dan perilaku yang tidak menguntungkan bagi anak dalam melakukan proses belajar. Termasuk paham, nilai, sikap dan perilaku yang rujukannya hanya diukur dalam takaran orang dewasa. Disini anak bisa lebih berekspresi (menggrafitikan dinding kelas), berinteraksi (belajar bersama dengan menyenangkan) dan beraktualisasi (mengkais-kais potensi dirinya dalam IT dan keminatan yang lain). Ya, lingkungan di sekolah ini memang murni untuk anak didiknya sendiri.

Ini tidak butuh waktu lama bahwa akhirnya kami terkagumi oleh suasana belajar di sekolah itu: belajar multimedia, belajar di ruang terbuka, belajar kelompok. Semua itu dilakukan dalam rangka melibas sekat pembatas ruang belajar yang masih dianut kebanyakan sekolah selama ini. Benar-benar plus!

Wisma Kodel, 22 Januari 2009

1 komentar:

  1. Terima kasih atas perhatiannya semoga jadi ibadah...

    Drs. Iyan Supiyan (Guru SMA Plus PGRI Cibinong)

    BalasHapus

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.