Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Minggu, 14 Juni 2009

Pulau Galang dan Jejak Para Pengungsi


Dengan luas hanya 125 km2, siapa yang kenal Pulau Galang? Mungkin tidak semua peta Indonesia memuatnya. Orang Indonesia pun belum tentu tahu kalau pulau Galang adalah salah satu dari ribuan pulau di Indonesia. Kami mengenalnya setelah melalui perjalanan yang sebentar dan tahu pula bahwa orang yang bukan warga negara Indonesia justru lebih mengenal dan memiliki ikatan batin pada pulau ini.

Pulau Galang berada 35 km dari Pulau Batam. Pulau Galang dan beberapa pulau yang lain di sekitarnya dihubungkan oleh jembatan Balerang—jembatan yang menjadi ikon Kota Batam. Pada masa gejolak perang Vietnam, sekitar 200 ribu para pengungsi dari Vietnam, Laos dan kamboja menghuni pulau ini. Kamp pengungsian pun didirikan oleh Komisi Tinggi PB untuk Pengungsi (UNHCR) untuk memenuhi hajat hidup para pengungsi di pulau ini yang berdiam sejak Mei 1979 sampai tahun 1996. Para pengungsi Vietnam ini dikenal dengan menyebut singkatannya, yakni Sinam.

Bagaimana Pulau Galang 30 tahun kemudian –sejak pertama kali dihuni para pengungsi? Pulau ini kembali menjadi pulau yang tidak ramai. Sebagian besar tanahnya masih berupa hutan. Tanah merah dan berbatu tak cukup andal untuk pertanian. Tidak ada angkutan
kota, kecuali bus gratis untuk para pelajar. Pelajar disini tidak mengandalkan jalan darat saja untuk berangkat sekolah. Karena tempat tinggal yana berjauhan, mungkin dari pulau yang berbeda, mereka juga menggunakan perahu untuk pulang-pergi sekolah. Kebanyakan para tamu yang datang ke pulau ini tak lain untuk melihat jejak-jejak para pengungsi yanng masih tersisa.

Tamu yang semacam ini pun tidak terlalu banyak. Pulau galang dan beragam jejak para
pengungsinya tidak menyimpan nuansa objek wisata pada umumnya: ramai dan menyediakan hiburan. Pulau Galang seakan menghadiahi pengunjungnya dalam dua nuansa: tragedi kemanusiaan yang tragis pada satu sisi dan tindakan kemanusiaan yang tulus pada sisi yang lain. Sisi yang terakhir tersebut tidak dibatasi oleh wilayah negara dan batasan administratif lainnya. Para pengungsi yang berada di Pulau Galang ini seakan menjadi ‘anak semua bangsa’ –meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer. Indonesia menjadi ‘bapak’ dari para pengungsi itu, walau hanya dalam waktu 17 tahun, sebelum akhirnya mereka dipulangkan kembali ke Vietnam pada tahun 1996. Adalah Huan Nguyen Cornwall, salah seorang bekas pengungsi (yang saat itu masih anak-anak) kini menjadi mahasiswa University of Washington, Seattle. Dalam perjalanan hidup yang panjang dan penuh was-was, ia akhirnya bermukim di Amerika Serikat, menjadi anak angkat keluarga Cornwell. Ia sempat berkunjung ke Pulau Galang, mengingat kembali rekaman masa lalu hidupnya yang pahit itu.

Jejak para pengungsi dikelola oleh Otorita Batam sebagai objek wisata sejarah. Untuk masuk ke dalamnya, kami cukup merogoh 10 ribu rupiah untuk kendaraan roda empat. Dari dalam kendaraan, kami bisa menyaksikan jejak-jejak para pengungsi: barak, rumah sakit, sekolah, penjara, perahu, pelabuhan, tempat peribadatan (masjid, vihara dan gereja). Diantara jejak-jejak itu, hanya tempat ibadah yang masih digunakan oleh penduduk sampai saat ini.
Di awal gerbang masuk, kami disambut oleh vihara Quan Am Tu. Suara talu terdengar berirama dari dalam vihara, tanda ada jemaat yang sedang beribadah.

Saat mulai masuk, kami kembali disambut oleh gerombolan kera yang mendekati kami. Mungkin mereka mengira kami membawa banyak makan untuk mereka—sayangnya kami tidak bawa apa-apa. Pulau ini masih berupa hutan lebat dan kera-kera tentu tercukupi makanannya. Ulah mereka menarik perhatian kami dan memaksa kami untuk berhenti sejenak.

Kami mulai menyaksikan barak-barak yang tampak tidak terpelihara. Beberapa atap terlihat rapuh, tak mampu menopang beratnya sendiri. Hanya beberapa barak yang masih kokoh dan rapi, walau tetap menyimpan kekusutan masa lalu.

Di suatu sudut kami menyaksikan pemakaman dengan nisan yang kokoh. Di tempat inilah sebagian orang pengungsi beristirahat selamanya—di suatu pulau dimana mereka berencana untuk tinggal sementara saja. Konon, karena tak kuasa menanggung pende
ritaan sebagai pengungsi dan ketakutan akan masa depan, banyak para pengungsi yang bunuh diri, bahkan ada yang membakar diri hidup-hidup di depan petugas PBB.

Di bagian yang lain, kami menatap beberapa perahu yang ‘didaratkan’. Sayangnya, karena berada di alam terbuka dan hanya atap pelindung sekedarnya, beberapa perahu tampak rusak tak bisa menahan keasliannya. Kayu-kayu badan perahu itu lapuk oleh panas sinar matahari di Pulau Galang.

Di suatu ruang pada bagunan yang digunakan untuk bagian administrasi, kami bisa menyaksikan beberapa barang kerajinan tangan berupa tembikar dan lainnya yang merupakan buah tangan para pengungsi. Di beberapa bagian dinding, kami melihat foto-foto rekaman kejadian: kawanan muda membakar perahu—berharap mereka tidak dipulangkan ke Vietnam; kunjungan Presiden Soeharto ke Pulau galang tahun 1979; kepadatan pengungsi di pelabuhan; dan sebagainya. Foto yang paling baru merekam rombongan kedutaan besar Vatikan untuk Indonesia yang berkunjung ke objek wisata ini—sembari merekam jejak-jejak kemanusiaan para pengungsi.

Hendaknya pemerintah Otorita Batam melestarikan objek wisata ini, agar orang-orang di luar Pulau Galang dapat menyaksikan jejak tragedi kemanusiaan dan bersaksi bahwa yang tak manusiawi akan dibela dengan sikap manusiawi yang tanpa batas. []

Jakarta, 14 Juni 2009

NB. Untuk Abdul Mufallah, Yasni Atikah dan Reza Rizqy, minta izin foto-fotonya saya pakai. Ini tentang perjalanan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.