Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Rabu, 08 Juli 2009

Tak Ada Pesta di Hari Pemungutan Suara

Hari itu, 8 Juli 2009, sekitar tujuh menit terlewat dari pukul 08.00, berlangsung kemeriahan warga yang bukan pesta. Masih pagi benar mungkin. Warga masih belum tergerak hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Di TPS 9 RT 07 RW 3 Kelurahan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, warga memenuhi kursi yang tak seberapa jumlahnya, satu-dua menit setelah TPS dibuka resmi oleh ketua RT—yang juga ketua KPPS. Ramai dan lengang memenuhi ruang sempit di TPS. Datang dan pergi, ke dan dari sebuah tempat yang, sekali lagi, tidak layak disebut pesta.

Disini tak ada pesta, hanya ada tiga meja, kursi yang tak seberapa, empat bilik, sebuah kotak suara, dan tenda biru yang tertata sederhana. Tenda biru didirikan di lontrong yang lengang, sekitar 3,5 meter lebarnya. Tenda membentang sebagai atap dengan kerangka potongan bambu dan tali seadanya. Bambu dan tali menopang lembaran tenda biru yang sudah dipenuhi lubang dan tambalan. Lontrong ditutup di dua mulutnya dengan palang glugu dan tanda nomor TPS. Walaupun sudah dipalang di mulut lontrong , banyak warga yang berlalu lalang dengan kesopanan yang bercampur segan. Dengan properti sedanya, warga yang datang lebih lambat harus bersiap kepanasan dan berdiri sambil menunggu namanya dipanggil. Perlengkapan sederhana ini sudah meyakinkan siapapun yang melintasi tempat ini bahwa disini benar-benar tak ada pesta.

Disini tak ada pesta, hanya ada sekelompok warga yang tertib mengantri di hari pemungutan suara. Mereka duduk dan berdiri, bergilir menunggu dipanggil oleh ketua RT. Mula-mula mereka mengumpulkan surat undangan ke KPPS setiba di TPS. Saat namanya disebut, mereka memungut kertas suara, menghampiri bilik suara, membubuhi tanda contreng pada calon presiden dan wakil presiden yang dipilih, melipat kembali kertas suara, memasukkan kertas suara di kotak suara dan menenggelamkan ujung jari kelingking kirinya ke dalam tinta warna biru. Begitu semua warga melakukan tindakan yang serupa. Sekali dua kali, anggota KPPS mengingatkan warga yang hampir lalai tidak mencelupkan ujung jari kelingking kirinya ke dalam tinta. Tingkah laku serupa yang dilakukan oleh para warga cukup meyakinkan siapapun bahwa disini benar-benar tak ada pesta.

Disini tak ada pesta, hanya perilaku Pak RT yang sering kali membikin gelak tawa para warga. Perilaku ketua RT seperti perilaku khas ketua RT umumnya di kampung Betawi—kocak dan asal njeplak!. Namun justru dari situlah sebuah kegiatan yang bukan pesta ini bisa dinikmati dan bahkan terjauh dari kelelahan yang menggelayut. Kelelahan mungkin sudah bergelayut diantara para anggota KPPS sejak semalam, yang lembur untuk mempersiapkan TPS dan perangkatnya. Akibat lembur inilah yang membuat Pak RT datang terlambat membuka acara pemungutan suara—tidak seberapa memang, hanya tujuh menit dari waktu yang sudah ditentukan oleh KPU, yakni pukul 08.00.

Entah sudah kebiasaan yang menetap atau karena kurang istirahat, ketua RT sering kali salah ucap dalam menyebut nama warga yang akan bergilir memilih. Misal, pak RT memanggil dengan keras, “Royati!”, hampir semua pengunjung TPS terdiam, bahkan tak ada yang berdiri mendekat menuju meja KPPS, sebelum akhirnya ada warga yang mengingatkan bahwa yang dipanggil Pak RT maksudnya “Reniyati”. “Eh, yah, Reniyati” begitu Pak RT membenarkan, seraya melanjutkan dengan kesalahan mengeja nama untuk warganya yang lain.

Karena TPS berada di lontrong yang biasa dipakai lalu lalang, Pak RT sempat kecelik. Pak RT memanggil dengan lantang, “Ristanto Wijaya!”, eh yang datang seorang perempuan. Kebetulan perempuan itu hanya numpang lewat pas di depan, mendekati meja KPPS. “Eh, dikire die..!” ucap Pak RT yang segera disambut tawa anggota KPPS yang lain dan sejumlah warga yang hadir.

Pak RT, dengan posisinya sebagai pemuka warga itu, tentu merasa dekat dengan warganya. Demikian sebaliknya, warga seperti merasa diorangkan dengan sambutan akrab Pak RT. Namun, bukan Pak RT kalau tidak asal jeplak seperti berikut ini.
“Hee…!” sambut Pak RT pada seorang anak muda yang baru hadir. “Dari Tebet jam berapa ya?” tanya Pak RT seketika pada anak muda tersebut yang mungkin bekerja atau punya tempat tinggal keluarga di Tebet.
“Bukan dari Tebet, Pak. Tapi Depok!” jawab anak muda itu sekaligus mengonfirmasi informasi yang salah yang selama ini diketahui Pak RT tentang dirinya.
“Oh, iya. Depok ya..” jawab Pak RT sekenanya, sambil melanjutkan memanggil warganya yang lain.

Menjelang siang kursi lengang. Warga seakan menunda kedatangan. Pak RT dan anggota KPPS lainnya memanfaatkannya dengan menyantap makanan ringan yang sudah disiapkan oleh ibu-ibu setempat. “Ayuh, ngopi yuh..” sapa Pak RT pada semua warga yang hadir.
“Pak RT, tamu nih.. kotaknya mana?” tanya seorang warga sambil menunjuk kawannya yang baru hadir. Kotak yang dimaksud dalam hal ini adalah makanan ringan.
“Kolak! Itu tuh, di warung!” jawab Pak RT dengan nada keras sembari menunjuk warung yang berada di dekat TPS. Seperti biasa, Pak RT menjawab sekenanya, yang dimaksud kotak, didengar Pak RT sebagai kolak.
“Kolak, kaya puasa saja kolak,” jawab tamu yang ditawari. Sejenak hadirin di TPS tertawa.

Begitulah. Disini benar-benar tak ada pesta. Hanya ulah Pak RT yang membikin warganya tertawa-tawa. Sebuah kemeriahan yang tercipta spontan, seadanya, dan terbersit ketulusan sebagai endapan dari interaksi intens sesama warga.

Sekali lagi, disini tak ada pesta, hanya perilaku warga pemilih yang membuat warga yang lain tidak bisa menahan gelak gembira. Ada seorang warga yang menjadi saksi bagi capres/cawapres tertentu. Ia hadir terlambat, namun pulang lebih cepat. Saat diminta menyaksikan dan menanggapi suara capres/cawapresnya yag tidak sah, ia hanya melongok sejenak, lalu bilang, “yah, saya percaya saja pada KPPS!” warga yang lain pun hanya mengoloknya, “menang atau kalah capres/cawapres yang didukungnya, dia tidak urusan, yang penting duit sebagai saksi sudah diterima!” warga yang lain sekilas tertawa.

Ada warga yang usai memasukkan kertas suara, hendak mencelupkan ujung kelingkingnya ke dalam secangkir kopi! Pasalnya, petugas KPPS yang melayani celupan tinta menaruh cangkir kopinya di sisi wadah tinta. Lagian, wadah tinta terlalu kecil dibanding cangkir kopi. “Bukan ini, ini kopi!” tegas petugas KPPS yang diiringi tawa warga di sekitarnya.

Seorang warga mengolok kawannya yang menjadi saksi salah satu capres/cawapres. Katanya, “memang saksi ikan asin di jemur!” Si saksi duduk di kursi yang tersiram kuyup panas matahari siang itu.

Ada juga seorang warga perempuan paruh baya yang latah dalam berucap. Yang bikin orang lain tertawa karena kata yang keluar dari latahnya adalah alat kelamin laki-laki!

Begitulah. Disini benar-benar tak ada pesta. Hanya polah warga yang merayakan kemeriahan sederhana sekedar bumbu dalam pergaulan sesama.

Benar, kan? bahwa disini tak ada pesta, hanya warga yang lamat-lamat mendeklarasikan diri, semacam perayaan kecil-kecilan, dengan peralatan sederhana, sikap dan tingkah laku seadanya, bahwa dirinya adalah warga negara yang telah memenuhi kewajibannya: hadir di TPS dan menentukan capres/cawapres pilihannya. Mereka tidak terlalu berurusan apakah capres/cawapres yang dipilihnya akan menang atau kalah. Yang jadi urusannya adalah bahwa dirinya harus menggunakan hak suaranya di hari pemungutan suara. Mereka tidak terlalu berhadap banyak bahwa pasca Pilpres 2009 akan ada perubahan yang lebih baik pada kehidupannya sehari-hari. Bahwa terhadap kondisi apapun yang selama ini mereka alami, mereka telah memiliki sikap bahagia, ada atau tidak ada pesta! []

Jakarta, 8 Juli 2009

1 komentar:

  1. paling tidak warga datang dan terhibur karena pak RT..saya jadi mikir, jangan2 yang dibutuhkan di negeri ini bukan presiden, tapi penghibur ya mas
    vote pak RT for president (hihihi, telat ya..)
    lha, berarti mas abu seharian dong di TPS *mengira-ngira mas abu jadi apa ya..jangan2 pak RT nya*

    BalasHapus

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.