Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Rabu, 05 Agustus 2009

Organisasi sebagai Rumah Belajar

1. Pada saat pemerintah mengkampanyekan sekolah gratis, saat itu pula ‘sekolah mahal ada dimana-mana’. Program pemerintah membuat SSN (Sekolah Standar Nasional) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) pada akhirnya menyedot banyak biaya dari masyarakat. Secara tidak langsung sekolah formal menciptakan stratifikasi sosial di masyarakat kian menganga. Dampaknya tentu tidak menguntungkan bagi masyarakat menengah ke bawah. Biaya pendidikan tidak terjangkau. Pada saatnya, kesenjangan ini akan ‘mengganggu’ kepribadian pelajar. Pelajar dari kalangan menengah ke bawah tidak banyak kesempatan melakukan ‘concerted cultivation’, yakni pengembangan (diri) yang dilakukan bersama (antara orang tua atau pihak lain dengan dirinya). Pelajar dari kalangan ini tidak banyak belajar menumbuhkan perasaan memiliki ‘hak’. Mereka tidak tahu cara mendapatkan keinginan dan bagaimana menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapi untuk memenuhi keinginannya (Gladwell, 2009).
Keadaan seperti di atas memberikan ‘jalur hijau’ bagi organisasi pelajar untuk membantu pelajar dalam belajar memahami hak-haknya melalui pengalaman-pengalaman keorganisasian. Sudah terbukti bahwa organisasi mampu menjadi sarana mobilitas sosial bagi anggota-anggotanya. Organisasi punya tugas menghambat agar jurang kelas sosial tidak menganga lebar.

2. Ujian Nasional (UN) maupun seleksi masuk lainnya membuka celah bagi kecurangan sistematis yang dilakukan oleh pelaku pendidikan itu sendiri. Sudah jadi rahasia umum bahwa kecurangan dalam UN dilakukan oleh para guru, siswa, dan institusi pendidikan demi mendapat nilai akademik tinggi. Sementara nilai-nilai lain yang lebih luhur, seperti kejujuran, keadilan, dikesampingkan.
Keadaan seperti di atas menjadi ‘bel masuk’ bagi organisasi pelajar dalam melakukan pendidikan karakter melalui kegiatan yang diselenggarakannya. Bagaimana pendidikan karakter itu? Menurut Thomas Lickona, ada tiga langkah ampuh dalam mendidik karakter, yakni knowing, loving dan acting the good. Melalui program dan kegiatannya, organisasi pelajar sedianya memberi ruang bagi anggotanya dalam memahami nilai-nilai, mencintai nilai-nilai itu dan menerapkannya dalam kegiatan sebagai tindakan yang bisa diteladani.

3. Problem kurikulum masih belum beranjak dari rangkaian pengetahuan yang memberatkan pelajar. Sebagaimana dikuatirkan Bertrand Russell (1993), pengetahuan yang diberikan pada pelajar melebihi kemampuannya mencerna bisa menggerus hasrat atas pengetahuan. Ada semacam pertantangan seperti digambarkan oleh John Dewey sebagai ‘anak versus kurikulum’: pertentangan yang timbul dari kepribadian anak melawan keinginan orang dewasa yang tersusun dalam kurikulum. Apa yang terjadi? Banyak pengetahuan yang didapat pelajar tidak relevan dengan kehidupannya sehari-hari. Pada akhirnya, lulus sekolah atau kuliah, tidak menjamin kecakapannya dalam melakukan aktivitas profesional.
Keadaan di atas memberi ‘jalan terang’ bagi organisasi pelajar untuk menempatkan diri sebagai ‘jembatan pengetahuan’ yang mampu mengkontekstualisasikan pengetahuan yang didapat di sekolah. Pembelajaran kontekstual menurut Elaine B Johnson (2009) meliputi delapan komponen: 1)membuat keterkaitain-keterkaitan yang bermakna; 2) melakukan pekerjaan yang berarti; 3) melakukan pembelajaran yang diatur sendiri; 4) bekerja sama; 5) berpikir kritis dan kreatif; 6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang; 7) mencapai standar yang tinggi; dan 8) menggunakan penilaian autentik. Komponen-komponen di atas memungkinkan dilakukan oleh organisasi sehingga pelajar mampu memaknai apa yang dipelajarinya di sekolah.

4. Pelajar, guru, orang tua, dan masyarakat pada umumnya lebih mempedulikan kemampuan kognitif melalui jalur pendidikan formal. Sekedar misal, anak-anak masuk SD sudah dites dengan baca tulis, bahkan diberi soal-soal yang menghendaki kemampuan membaca dan menulis. Masuk SMP, SMA dan PT diuji dengan Tes Potensi Akademik (TPA). Sementara, orang tua pun rela mengeluarkan banyak biaya demi meningkatkan kemampuan akademik anaknya dengan memasukkan anaknya ke sekolah ‘berkelas’, ikut kursus-kursus dan sebagainya.
Keadaan tersebut menjadi ‘lampu kuning’ bagi organisasi pelajar bahwa organisasi pelajar dipandang tidak relevan bagi perkembangan diri pelajar. Dampak ikutannya, pelajar tidak terlalu berminat pada aktivitas keorganisasian, apalagi terlibat terlalu jauh. Kemampuan yang diperoleh lewat organisasi seperti kepemimpinan, pengambilan keputusan, public speaking, diperoleh melalui kursus-kursus yang tidak mengikat, walaupun dengan biaya tinggi.

5. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tanpa diimbangi dengan kesadaran atas makna pengetahuan, hanya melanggengkan sikap-sikap yang justru merugikan pelajar itu sendiri. Sebagai misal, kunci jawaban ujian beredar lewat sms, tugas makalah didapat dengan copy paste hasil searching di internet. Adanya teknologi praktis tersebut justru menggerus identitas dan integritas pelajar sebagai agen intelektual.
Keadaan diatas bisa menjadi ‘lampu merah’ karena secara langsung mempengaruhi pelajar, dan bisa jadi, pengurus organisasi itu sendiri sebagai pelakunya.

6. Organisasi seyogyanya menjadi tempat belajar tentang apa yang disebut psikolog Robert Stenberg sebagai ‘kecerdasan praktis’ (Gladwell, 2009). Bagi Stenberg, ‘kecerdasan praktis’ meliputi hal-hal seperti mengetahui apa yang harus dikatakan pada orang tertentu, mengetahui kapan mengatakannya, dan tahu bagaimana mengatakannya untuk mendapat hasil yang maksimal. ‘Kecerdasan praktis’ ini diasah dalam organisasi saat kita merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan menilai ketercapaian suatu kegiatan. Kecerdasan ini sulit terasah pada seseorang yang, dengan IQ tinggi, justru mengandalkan kemampuan kognitif (analisis) semata.

7. Organisasi perlu menguatkan visinya sebagai rumah belajar bagi pelajar pada khususnya, dan masyarakat umumnya. Visi ini idealnya melekat pada setiap pengurus maupun kader, sehingga dapat dicerminkan dalam program dan aktivitas keorganisasian. Bobbi DePorter (2007) memberi nasehat, “jadilah model bagi visi anda. Terapkanlah agar orang-orang melihatnya.”
Pelajaran baik datang dari Gola Gong yang meyakini, sebagai sebuah prinsip, bahwa “rumah adalah tempat belajar” (Kompas 26 Juli 2009). Ini tersirat pada isi rumahnya yang penuh dengan buku sebagai ‘perabot utama’ rumah tangga. Rumahnya pun tak pernah sepi dari hilir mudik anak muda yang ingin belajar: membaca, menulis, bermain musik. Jika kita meyakini organisasi sebagai rumah belajar, apa kira-kira ‘perabot’ yang harus dimiliki? Jika kita meyakini organisasi sebagai rumah belajar, lingkungan seperti apakah yang hendak kita ciptakan?

8. Sebagai rumah belajar, organisasi perlu menampung berbagai kecenderungan, minat dan bakat pelajar yang, lewat kegiatan keorganisasian, pelajar mampu mengaktualisasikan kecenderungan, minat dan bakatnya itu. Daniel Goleman membagi kecerdasan dalam delapan jenis: linguistik, kinestetik, matematis, spasial, musik, interpersonal, intrapersonal, dan natural. jadi, keberagaman kecerdasan itu mempengaruhi kecenderungan, minat dan bakat pelajar dan perlu dikembangkan melalui komunitas-komunitas pelajar.

9. Selayaknya ada ‘metabolisme’ dalam organisasi yang secara bawah sadar mempertanyakan diri sendiri, bahwa dalam segala aktivitas keorganisasian, akan selalu timbul pertanyaan, “kamu sedang belajar apa?”; “apa pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman atau aktivitas yang dilakukan dalam organisasi?”; “apakah pengetahuanku bertambah?” Jika jawaban dari pertanyaan itu cenderung negatif, artinya organisasi tidak bisa menjadi rumah belajar bagi anggotanya, lebih baik si anggota cepat-cepat beranjak meninggalkan organisasi, mencari tempat lain yang bermanfaat dunia akhirat. Ingat, hidup ini singkat, seumpama belajar ‘sistem kebut semalam’.

Semarang, 1 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.