Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Kamis, 08 Januari 2009

Ternyata, Beragama Butuh Bijaksana

Bahwa agama mengajarkan kebaikan, setiap orang mengakuinya—bahkan sudah jadi aksiomatik. Bahwa agama mengajarkan kebijaksanaan, lebih tidak mudah ditemukan faktanya karena seorang penganut agama yang baik pun belum tentu seorang yang bijaksana. Ini simpulan sederhana yang saya buat dari pertemuan singkat antara dua orang yang sudah tidak lagi dibilang muda, lengkap dengan jenggot putihnya, yang hendak menemui seorang tua pada sebuah kantor di sebuah gedung di bilangan Kuningan Jakarta.

Dua orang tua bergegas masuk di ruang tamu kantor itu. Pada jam kantor, tidak semua orang tamu berpakaian a la kantor zaman sekarang. Dua orang tua itu bukan memakai piyama necis, berdasi dan sepatu hitam mengkilap—sebagaimana dikenakan jamak orang yang berlalu lalang di gedung itu. Keduanya memakai baju gamis putih (sebut saja Orang Tua Bergamis), yang ujung kainnya hampir bersepadu dengan ujung lutut, dan sendal sepantasnya—sebagai alas bagi kaki. Dua orang itu menguluk salam, disambut oleh penghuni kantor itu, yang juga orang tua (sebut saja Orang Tua Penghuni Kantor), penuh persahabatan. Mungkin mereka sahabat lama sejak muda.

Cerita punya cerita, kedua Orang Tua Bergamis bermaksud sebagai penyampai (mubaligh) pada orang yang ditemuinya itu. Orang Tua Bergamis pertama berujar, "Pak, banyak orang mengaku sudah berbuat untuk Islam; mendirikan masjid yang layak, menyantuni orang miskin, membuat sekolah atau universitas untuk kemajuan pendidikan umat Islam. Tapi sebenarnya mereka itu belum berbuat untuk Islam. Merka hanya berbuat untuk orang Islam."

Saya terheran-heran dengan pandangannya itu. Sungguh benar-benar menempatkan pelaku kebaikan pada derajat yang paling rendah. Yang diajak bicara, Orang Tua Penghuni Kantor, adalah orang yang dengan gigih turut serta mendirikan dua universitas di Jakarta. Mungkin Orang Tua Penghuni Kantor tersindir oleh ungkapan Orang Tua Bergamis itu.
"Orang yang berbuat untuk Islam itu mengajak orang Islam untuk ber-Islam yang sesungguhnya. Dalam hal ini yang saya lakukan adalah mengajak orang Islam untuk sholat lima waktu di awal waktu. Lalu, apa yang sudah bapak perbuat untuk Islam?" imbuh Orang Tua Bergamis pertama. Orang Tua Bergamis kedua mengiyakan dengan memberi imbuhan-imbuhan kata yang seadanya.

Orang Tua Penghuni Kantor giliran menjawab, "Pak, saya ingin cerita. Saya pernah diundang dalam suatu acara bedah buku. Seseorang mengajak saya untuk hadir. Buku itu berisi kumpulan tulisan para kaum muda yang saya tidak begitu kenal. Setelah kata sambutan usai, saya dipanggil untuk maju ke depan. Sambil membawa buku, seorang panitia menyerahkan buku itu pada saya dengan berkata,'Pak, buku ini kami tulis untuk Bapak, atas jasa Bapak yang memberi inspirasi bagi kami-kami yang muda ini'. Saya terheran-heran, buku ini ditulis untuk saya dari orang yang hampir semua tidak saya kenal. Saya juga terheran-heran, apa yang saya lakukan ternyata menimbulkan inspirasi bagi mereka. Saya tidak mengajak apapun pada mereka untuk berbuat sesuatu yang saya inginkan. Saya pun tidak mengajak mereka untuk sholat karena saya yakin mereka sudah pada sholat semua."

Kedua Orang Tua Bergamis itu pun diam seiring usainya bicara Orang Tua Penghuni Kantor itu.
"Bagi saya, apa yang saya kerjakan ini saya yakini sebagai ibadah. Kalau da'wah anda mengajak orang Islam untuk sholat, da'wah saya dengan melakukan apa yang saya kerjakan dengan baik", begitu Orang Tua Penghuni Kantor menambahi.

Usai pembicaraan di atas, Orang Tua Bergamis memulai pembicaraan baru, "bagaimana kabar pak Dawam, apa masih sakit ya?""Pak Dawam sudah sehat. Ia masih berda'wah. Da'wahnya tidak mengajak orang untuk sholat, tapi mengajak orang untuk berdamai, menyeru pada perdamaian" begitu Orang Tua Penghuni Kantor mengakhiri perdebatan kecil di kantor itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.