Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Senin, 23 November 2009

Mengembangkan Metode, Meningkatkan Kecerdasan

Sebuah selebaran tentang unsur-unsur pengajaran tradisional yang dibuat oleh pakar pendidikan Eric Jensen dan jeannette Vos menyebutkan salah satu diantaranya: “kapur—pidato—tunjuk jari”. Tidak tersedia penjelasan lebih lanjut, tetapi penyebutan “kapur—pidato—tunjuk jari” sebagai salah satu unsur pengajaran tradisional mendapatkan gambaran dan pembenarannya sekaligus saat melihat kegiatan dalam ruang-ruang kelas sekolah kita. Pengalaman kita sebagai murid sekolah dahulu atau saat menjadi guru sekarang adalah pengalaman rutin tentang guru yang memasuki kelas, murid yang segera duduk rapi di bangku; guru yang mengambil kapur untuk menulis di papan tulis, murid yang menyalin di buku catatan; guru yang aktif berpidato menerangkan pelajaran, murid yang tekun mendengarkan; guru yang melontar tanya dengan menunjuk salah satu murid untuk menjawab, murid yang diam, tengok kiri kanan karena tak tahu jawaban, atau menjawab seadanya; guru yang menawarkan kesempatan kalau-kalau ada pertanyaan, murid yang diam karena tak ada yang mau bertanya. Sebagai guru, kita sudah lama tidak membayangkan, apa yang dirasakan para murid jika semua guru menampilkan ‘logat’ pembelajaran yang sama : kapur (menulis), pidato (menerangkan), dan tunjuk jari (memberi pertanyaan).

Jika para murid diperkenankan bertindak jujur terhadap dirinya, mungkin akan banyak murid yang bernasib seperti Totto Chan—tokoh dalam sebuah novel pendidikan anak. Ia terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena bertindak aneh selama di kelas: berdiri di dekat jendela memandang keluar sembari menunggu pengamen datang bernyayi untuknya. Tidak jarang, sembari menunggu pengamen, ia bernyayi-nyayi sendiri. Beruntung ia mendapat sekolah yang bisa memahami dirinya, belajar di kelas yang terbuat dari bekas gerbong kereta dan setiap murid bisa memulai pelajaran dari mana saja yang disukai. Di sekolah barunya, Totto Chan terbebas dari kepercayaan yang keliru tentang pembelajaran: siswa yang tidak bisa duduk diam berarti tidak siap belajar.

Apa jadinya jika murid-murid yang berperilaku seperti Totto Chan tidak mendapatkan sekolah yang dapat menampung cara belajarnya, seperti kelas di gerbong kereta? Mungkin murid-murid itu akan dipaksa putus sekolah, karena sekolah bukan tempat orang yang tidak mau diatur—termasuk yang tidak mau diatur cara belajarnya.

Figur semacam Totto Chan dalam dunia nyata bukan tidak ada. Beberapa diantara mereka adalah tokoh berpengaruh yang memberi sumbangan besar pada peradaban. Sebut saja misalnya Albert Einstein, Winston Churchill dan Thomas Alva Edison. Berikut ini kisah mereka menghadapi gaya belajar sekolah yang tidak sesuai dengan gaya khas mereka (dalam Dryden & Vos, 2001).

Albert Einstein kecil dikenal suka melamun. Guru-gurunya di Jerman mengatakan bahwa dia tidak akan pernah berhasil di bidang apapun; bahwa pertanyaannya merusak disiplin kelas; bahwa lebih baik jika ia tidak usah bersekolah. Namun, dia terus berusaha dengan gaya belajarnya sehingga menjadi salah satu ilmuwan terbesar sepanjang sejarah.

Winston Churchill saangat lemah dalam pekerjaan sekolah. Dalam berbicara dia agak gagap dan cadel. Namun ia kemudian menjadi salah satu pemimpin dan orator ulung terbesar di abad ke-20.

Thomas Alva Edison pernah dipukul di sekolah dengan sebuah ikat pinggang kulit karena gurunya menganggap dia ‘mempermainkan’ dengan mengajukan begitu banyak pertanyaan. Dia begitu sering dihukum sehingga ibunya mengeluarkan dia dari sekolah hanya setelah tiga bulan mengenyam pendidikan formal. Dia terus berusaha sehingga menjadi penemu paling produktif sepanjang zaman.

Albert Einstein, Winston Churchill dan Thomas Alva Edison menjadi ‘korban’ dari ‘malapraktek guru dalam melakukan pembelajaran di kelas. Namun, pembelajaran guru yang kurang tepat tak mampu membendung potensi kecerdasan yang dimilikinya. Kecerdasan mereka lebih berharga daripada sekedar mengikuti apa yang dimaui guru dan sekolah pada umumnya. Demi mengasah potensi optimal kecerdasan, mereka memandang putus sekolah sebagai sesuatu yang remeh belaka. Namun, seberapa banyak orang seperti mereka, yang tanpa putus asa terus mengasah kecerdasannya dengan cara khas mereka sendiri. Tidak sedikit orang yang, walaupun cukup cerdas, memandang putus sekolah sebagai putus harapan—termasuk jaminan hidup bahagia di masa depan.

Riset yang dilakukan oleh pakar pendidikan seperti Howard Gardner, Dunns dan Barbara Prashnig jelas menunjukkan bahwa kebanyakan murid putus sekolah tidak mendapatkan prestasi yang terbaik di sekolah yang hanya menampung dua ragam kecerdasan dari tujuh atau lebih kecerdasan manusia (multiple intelligence). Juga, kebanyakan dari murid putus sekolah merasa terabaikan di tengah lingkungan sekolah yang tidak mendukung pembelajaran kinestetis (Dryden & Vos, 2001).

Dua kecerdasan yang dimaksud mungkin ini: kecerdasan linguistik (bahasa) dan kecerdasan logika-matematika. Kecerdasan linguistik tertampung dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa inggris, maupun ilmu sosial, sementara kecerdasan logika-matematika tertampung pada mata pelajaran matematika dan ilmu-ilmu eksakta. Namun, menimbang-nimbang mata pelajaran sebagai pengasah kedua kecerdasan itu tidaklah cukup. Hal yang lebih penting dalam mengasah kedua kecerdasan itu adalah bagaimana cara guru mengajar mata pelajaran.

Kebanyakan cara guru mengajar adalah dengan menempatkan dirinya sebagai subjek. Guru adalah pengendali penuh proses belajar mengajar. Apalagi, dengan banyaknya materi pelajaran dan terbatasnya waktu yang tersedia, guru terdorong lebih aktif dalam menyampaikan materi. Hasil observasi kelas yang dilakukan oleh peneliti John Goodlad mengungkapkan bahwa pada kebanyakan kasus, guru merupakan pihak yang berbicara paling banyak sepanjang waktu, sementara siswa pasif mendengarkan. Proses pembelajaran dalam kelas kurang mendorong siswa mengasah kemampuan linguistik. Siswa tidak banyak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat atau mengajukan pertanyaan. Padahal, mengungkapkan gagasan secara verbal merupakan latihan metakognitif yang penting, karena dengan sering mendengar diri kita berbicara, dan membaca apa yang kita tulis, maka kita memperoleh wawasan mengenai apa yang benar-benar kita pikirkan atau kita ketahui (Campbell, Campbell dan Dickinson, 2006). Sementara, pada pelajaran matematika, para murid hanya diajarkan rumus-rumus belaka, tanpa mengetahui asal-usulnya, harus dihafal di luar kepala—jauh dari esensi pembelajaran matematika, yakni logika. Sementara, pada mata pelajaran lain, guru kurang memberikan kesempatan siswa agar berkembang mandiri menyelesaikan permasalahan tertentu yang relevan dengan apa yang dipelajari—sebuah pondasi dalam berpikir logis-ilmiah.

Pengertian terbaru mengenai kecerdasan manusia membuat para guru harus berpikir ulang dalam memandang murid, termasuk dalam melakukan proses pembelajaran. Howard Gardner menyatakan bahwa otak manusia adalah organ yang sangat kompleks dengan kapasitas yaang jauh lebih besar untuk belajar ketimbang yang saat ini dipakai manusia. Artinya, setiap manusia, termasuk murid, begitu juga guru, berkesempatan meningkatkan potensi kecerdasannya. Konon, penemuan ilmiah menakjubkan yang dilakukannya, Albert Einstein baru menggunakan 15 % dari potensi otaknya. Lantas, akankah murid-murid yang berpotensi lebih cerdas ditumpulkan potensinya akibat cara mengajar guru yang tidak mampu mendayagunakan kecerdasan para muridnya? Bisa ditegaskan bahwa sebenarnya tidak ada murid yang bodoh, juga tidak ada murid yang mengalami kesulitan belajar, yang ada hanyalah kesulitan guru untuk mengajar—untuk tidak mengatakan masih ‘bodoh’ dalam menggunakan beragam metode pembelajaran yang efektif.

Pentingnya metode pembelajaran
Metode pembelajaran sangat penting perannya dalam mengoptimalkan kecerdasan murid. Jika metode yang digunakan baik dan tepat, murid akan terangsang untuk mengoptimalkan kecerdasan yang dimiliki. Metode yang digunakan bukan hanya baik tapi juga tepat. Artinya metode yang dipakai sesuai dengan kebutuhan pembelajaran—termasuk kesesuaian metode tersebut bagi warga belajar. Dalam hal ini metode memiliki kemampuan sebagai alat rangsang yang mampu membangkitkan potensi kecerdasan murid. Untuk itu, bisa dipahami bahwa metode merupakan alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar.

Maka orang mungkin tidak berani membantah bahwa kesuksesan guru—sebagai guru teladan maupun guru favorit di sekolah—terletak pada kesuksesannya dalam menggunakan metode pembelajaran. Murid-murid memandang seorang guru lebih favorit dibanding yang lain karena kemampuannya dalam membawa murid-murid ke alam pembelajaran. Ada semacam inspirasi yang menggerakkan saat guru melakukan proses pembelajaran. Dengan menggunakan metode yang baik dan tepat, seorang guru dapat mengajak murid berada dalam suasana yang dinikmati, bahkan merasa proses pembelajaran adalah milik dirinya—mereka merasa bahwa proses pembelajaran yang dilakukan melibatkan potensi cerdas yang dimilikinya.

Untuk itu guru perlu kiranya mengembangkan metode belajar melalui penggunaan metode yang variatif (sesuai dengan potensi murid yang variatif), memilih metode yang baik (yang mampu meningkatkan kecerdasan siswa) dan menggunakan metode tersebut secara tepat (yang dapat mencapai tujuan pembelajaran).

Ada beberapa argumen yang menguatkan bahwa mengembangkan metode dapat meningkatkan kecerdasan murid. Pertama, kecerdasan bersifat dinamis, artinya ia dapat berkembang dalam dinamika interaksi yang memungkinkan potensi kecerdasan itu tumbuh. Artinya, senada dengan peran metode sebagai alat motivasi ekstrinsik, lingkungan mempengaruhi perkembangan kecerdasan seseorang. Adanya murid yang putus sekolah seperti beberapa tokoh di atas, sebenarnya mencerminkan lingkungan sekolah kurang memberi suasana yang dinamis bagi kecerdasan muridnya. Kedua, metode yang bervariasi memungkinkan murid mengoptimalkan dua potensi otaknya, yakni otak kiri dan otak kanan. Selama ini sekolah lebih menghargai potensi otak kiri (yang rasional, logis, analitis) daripada otak kanan (intuitif, imajinatif dan holistik) muridnya. Ketiga, dalam pertumbuhannya, kecerdasan setiap murid bersifat unik. Setiap orang memiliki ‘jalan cerdas’ nya masing-masing. Artinya, kita tidak tahu pada keadaan yang bagaimana seseorang itu menemukan pencerahan (insight). Harapannya, metode yang digunakan oleh guru dalam belajar di kelas mampu memberikan secercah cerah bagi murid dalam melihat potensi unggul pada dirinya.

Bagaimana mengembangkan metode sekaligus meningkatkan kecerdasan? Beberapa langkah awal perlu dilakukan guru sebelum menentukan metode yang akan digunakan. Pertama, guru harus berpikiran terbuka. Tidak jarang guru terpaku pada metode pembelajaran tertentu karena metode itulah yang dia alami saat dia belajar di sekolah dahulu. Metode ceramah dipilih guru karena metode itulah yang sering dialami dan dilakukan. Jika guru berpikiran tertutup, ia akan mengabaikan dan tidak akan pernah mencoba menggunakan metode lain. Kedua, guru perlu memahami kecerdasan murid-muridnya. Ini penting karena setiap murid memiliki salah satu atau lebih kecerdasan yang menonjol diantara tujuh kecerdasan manusia (linguistuk, matematika-logika, musik, visual-spasial, kinestetik, intrapersonal dan interpersonal). Pemahaman yang baik tentang ketujuh kecerdasan ini diharapkan guru dapat memilih metode yang bisa diikuti dengan baik dan menyenangkan oleh para muridnya. Bagi murid yang memiliki kecerdasan visual-spasial yang baik, mungkin ia lebih tertarik dengan menuliskan ayat alqur’an dalam bentuk kaligrafi daripada diminta membaca dan menghafal ayat tersebut. Ketiga, guru perlu menampung berbagai macam kecerdasan yang berbeda-beda sebagai potensi dalam melakukan proses pembelajaran. Jangan ada ‘diskriminasi kecerdasan’ dengan cara menampung potensi kecerdasan murid tertentu dan mengabaikan potensi kecerdasan murid yang lain. Kabar buruknya adalah, guru cenderung menggunakan cara, gaya dan metode mengajar yang sama dengan cara, gaya dan metodenya dalam belajar. Keempat, guru perlu banyak melakukan uji coba terhadap metode-metode pembelajaran yang mungkin pada tiap jenis kecerdasan. Ini sekaligus juga mengasah kepekaan guru terhadap kecenderungan potensi murid yang berbeda dengan kecenderungan potensi dirinya. Kelima, guru menempatkan murid sebagai subjek belajar. Ini merupakan prasyarat yang perlu ada dalam pembelajaran sehingga murid tidak hanya mendengar, tetapi juga bicara, murid tidak hanya membaca, tetapi juga menulis, murid tidak hanya melihat dan mendengar, tetapi juga mempraktekkannya. Metode-metode seperti bermain peran (role play), diskusi kelompok, debat, praktek, mampu menempatkan murid sebagai pelaku dalam proses pembelajaran. Mengharapkan murid dapat sholat jenasah lengkap dengan kaifiah dan bacaannya tidak cukup dengan menjelaskan di muka kelas dan meminta murid mencatat bacaannya, tapi juga harus praktek. Untuk meneladani figur rasulullah, kita dapat mengajak murid memainkan peran sebagai sahabat nabi yang bisa diteladani semacam abubakar (saat membenarkan kenabian muhammad, misalnya), umar (saat memikul gandum sendiri untuk diberikan pada rakyatnya yang miskin, misalnya), bilal (saat diseret dan tubuhnya ditindih batu, misalnya). Dan sebagainya, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.