Siapa yang menemukan alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun

Senin, 30 November 2009

Menjadi Guru Bener di Zaman Keblinger


“Saya minta Menteri Pendidikan Nasional untuk mengubah metodologi belajar-mengajar yang ada selama ini. Sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah jangan hanya gurunya yang aktif, tetapi harus mampu membuat siswanya juga aktif,” begitu ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka Temu Nasional 2009 di Jakarta (Kompas, Jum’at, 30/10). Tersirat, permintaan presiden tersebut tidak hanya ditujukan kepada Menteri Pendidikan Nasional yang baru, tapi juga terhadap para guru sebagai subjek utama penentu kualitas pendidikan nasional.

Namun, mengubah metode belajar-mengajar bukanlah perkara mudah bagi seorang guru. Ada konsekuensi-konsekuensi yang harus dipenuhi oleh guru jika hendak mengubah metode belajar-mengajar yang dilakukan selama ini. Tidak serta merta dapat terpenuhi, apalagi jika dihadapkan pada kenyataan berurat-akar tentang metode belajar-mengajar yang berlangsung bertahun-tahun lamanya. C.E. Beeby, seorang pernah meneliti tentang pendidikan di Indonesia, menggambarkan cara mengajar guru yang ditelitinya tahun 80-an, “guru berbicara dan biasanya menulis di papan tulis (dan ini rata-rata memakan waktu separuh jam pelajaran), murid-murid mendengarkan secara pasif. Ada sisa waktu yang sangat singkat untuk tanya jawab, sedang pertanyaan-pertanyaan bersifat rutin dan menyimpulkan saja: murid-murid kemudian mencatat apa yang didiktekan atau dari papan tulis. Dimana buku teks sangat kurang, kadang-kadang guru mengajar dengan hanya mendiktekan saja pelajaran dan jika masih ada waktu baru memberikan penjelasan sekedarnya.” Tak bisa dinafikan bahwa cara mengajar demikian masih kerap dijumpai di ruang-ruang kelas sekolah kita saat ini.

Pemerintah bukannya tidak memiliki kebijakan ke arah perbaikan metode belajar-mengajar. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberi lampu hijau bagi guru dalam menyelengarakan kurikulum yang sesuai dengan corak sekolah masing-masing. Melalui KTSP, guru mendapat hak profesionalnya, termasuk dalam menyusun kurikulum dan mengembangkan metode pembelajaran. Namun, pemberlakuan KTSP tanpa diimbangi penyiapan pengetahuan dan ketrampilan guru dalam mengampu perubahan kurikulum berujung pada pembebanan guru terhadap tugas-tugas administratif belaka. Kurikulum berubah, namun hal itu tidak mempengaruhi guru dalam mengubah penyelengaraan kurikulum, termasuk pendekatan dan metode dalam belajar-mengajar.

Melalui bukunya ini, Doni Koesoema menempatkan guru sebagai subjek penting bagi perubahan. Guru tidak hanya sebagai pelaku perubahan, tapi juga sebagai pendidik karakter. Kedua peran itu saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Melalui dua peran ini, pengaruh guru menyebar luas, melampaui tembok-tembok ruang kelas yang menyekatnya setiap hari. Kemauan guru untuk mengubah dan memperbaiki metode belajar-mengajar yang telah dilakukan selama bertahun-tahun berhubungan dengan kesadaran atas peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter.

Doni Koesoema menengarai dinamika pekerjaan guru menyebabkan guru sulit menerima perubahan. Ada tiga ciri dinamika pekerjaan guru yang menghambat perubahan, terhadap guru itu sendiri pada khususnya, dan dunia pendidikan pada umumnya, yakni konservatisme, individualisme dan presentisme. Gejala konservatisme mengemuka saat guru lebih merujuk pada keberhasilan masa lalu sebagai andalan, alih-alih menolak hal-hal baru yang belum tentu terbukti efektivitasnya. Individualisme tampak saat guru merasa bahwa apapun pilihan tindakannya sebagai guru sepenuhnya adalah haknya yang bersifat individual. Sebagai guru mata pelajaran tertentu, ia merasa bahwa cara mengajar dan hasil belajar siswa akibat cara mengajarnya itu adalah haknya sebagai guru yang siap dipertanggungjawabkan. Presentisme terlihat saat guru lebih mementingkan tugas-tugasnya hari ini yang bersifat jangka pendek dan hasilnya dapat langsung dirasakan, seperti menyiapkan ujian. Daripada mendorong siswa aktif memahami dan menemukan makna baru terhadap apa yang dipelajari, lebih baik mendorong siswa untuk berlatih soal-soal ujian.

Pada saat dinamika pekerjaan guru membuat guru resisten terhadap perubahan, zaman menempatkan guru dan institusi pendidikan lebih tinggi dari seharusnya, bahkan cenderung tidak proporsional. Doni Koesoema menyebutnya sebagai zaman keblinger. Zaman ini setidaknya memiliki dua ciri, yakni mistifikasi peran guru dan pemahaman bahwa sekolah sebagai panasea atau obat mujarab segala macam penyakit sosial. Masyarakat melakukan mistifikasi peran guru dengan menempatkan guru sebagai pangkal segala persoalan yang terjadi di masyarakat. Perdamaian atau permusuhan, kesejahteraan atau kesengsaraan, kecerdasan atau kebodohan yang menggelayuti masyarakat sera merta ditimpakan kepada guru sebagai biangnya. Mistifikasi peran guru berujung pada tuduhan segala ketidakberesan di masyarakat kepada guru.

Zaman ini disebut sebagai zaman keblinger karena sekolah dipandang sebagai panasea atau obat mujarab segala macam penyakit sosial. Masyarakat menyerahkan sepenuhnya baik dan buruknya perilaku siswa atau warganya kepada sekolah. Jika saat awal masuk sekolah seseorang teramat nakal, setelah lulus dia menjadi orang yang baik-baik. Sekolah menjadi obat ampuh atas penyakit apapun di masyarakat. Narkoba dan perilaku seksual menyimpang yang menggerogoti remaja, ditanggulangi oleh satu-satunya institusi terpercaya bernama sekolah. Masyarakat pun berbondong-bondong menyekolahkan anaknya dari pagi sampai sore, bila perlu diasramakan. Namun, jika sekolah tidak lagi ampuh mengobati penyakit sosial itu, yang harus bertanggung jawab sepenuhnya adalah guru.

Tantangan atas perubahan, baik dari internal (dinamika kerja yang resisten terhadap perubahan) dan eksternal (mistifikasi terhadap peran guru dan fungsi sekolah) menuntut guru memiliki visi sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Guru sebagai pelaku perubahan berarti menjadi pemimpin bagi diri sendiri dan orang lain menuju tatanan yang dicita-citakan. Dalam masyarakat demokratis seperti saat ini, guru yang bervisi sebagai pelaku perubahan perlu melakukan reorientasi gaya pedagogis dalam pengajaran yang selama ini menjadi praksis hariannya. Mengembangkan diri sebagai pelaku perubahan berarti mengkritisi asumsi-asumsi dasar tentang pola relasi pengajaran dan pendidikan yang dianut selama ini. Guru perlu melepas dominasi terhadap siswa dalam pembelajaran dan menggantinya dengan memberikan ruang dan kreativitas kepada siswa untuk berkembang dan memiliki otonomi dalam pembelajaran (hal. 123-124). Beberapa kasus di dunia pendidikan yang masih kerap muncul, seperti kekerasan dan tindak asusia yang dilakukan guru terhadap siswa menjadi indikasi masih besarnya dominasi guru terhadap siswa dalam praksis pembelajaran.

Peran yang terus melekat dalam fungsi dan jabatan apapun di sekolah adalah guru sebagai pendidik karakter. Guru bukan hanya membuat siswa menjadi pintar dan menguasai materi, namun membuat mereka bertumbuh secara integral dan utuh sebagai manusia supaya dapat berkembang individualitas dan keunikan dirinya (hal 136). Namun, tuntutan yang tinggi terhadap capaian kurikulum dan harapan nilai yang tinggi dalam Ujian Nasional (UN) menggiring para guru lebih memusatkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang dangkal. Sudah jadi rahasia umum, banyak guru yang melakukan berbagai macam cara agar siswa mendapat nilai tinggi dalam UN. Tindakan curang dan tidak jujur dalam UN, bahkan dilakukan secara sistematis, justru menodai visi luhur guru sebagai pendidik karakter.

Menjadi guru yang bervisi sangat diharapkan bagi perbaikan pendidikan nasional. Namun, masih banyak guru yang belum benar-benar menjadi guru. Menjadi guru yang bener, dalam arti mengembangkan perannya sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter, sangat penting bagi masa depan pendidikan di Indonesia. Di zaman sekarang ini, menjadi guru yang bener juga perlu, semata-mata agar guru tidak ikut keblinger. []

2 komentar:

  1. Mari sama-sama berjuang, fiddunya wal akhirah,
    Memang tidak mudah, apalagi di sekolah Negeri, banyak kebijakan yang mau tidak mau harus diikuti, walaupun itu bertentangan dengan hati nurani kita sendiri.

    BalasHapus
  2. bpk doni sdh keblinger jadi jgn bilang negeri ini keblinger... jangan menggunakan TOPENG bpk doni.... jangan berkamuflase.... malu bpk doni... sampe kantor anda yg dulu: org-org kantor memberi julukan MANTAN ROMO GILA SEKSUAL......

    BalasHapus

terima kasih Anda telah membaca tulisan ini. Harap tinggalkan komentar sebelum meninggalkan halaman ini.